RADARBEKASI.ID, BEKASI – Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kabupaten Bekasi, mengklaim tidak ada pemecatan massal beberapa perusahaan yang bergerak di industri padat karya seperti tekstil. Sebab di Kabupaten Bekasi, tidak banyak pabrik tekstil.
”Kalau terkait perusahaan yang bergerak di industri padat karya, tidak ada, karena di Kabupaten Bekasi ini sangat jarang,” tutur Kepala Disnaker Kabupaten Bekasi, Edy Rochyadi kepada Radar Bekasi, Selasa (22/11).
Ia menjelaskan, untuk pengusaha yang bergerak di bidang tekstil, seperti boneka, sepatu, baju dan lainnya tidak banyak. Melainkan yang banyak itu bergerak di bidang otomotif serta onderdil masih berjalan dengan baik.
“Kalau tren pertumbuhan ekonomi setidaknya masih berjalan. Karena tidak ada informasi perusahaan yang besar, khususnya di kawasan industri yang melemah. Jadi saya pastikan, di Kabupaten Bekasi tidak ada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal,” terang Edy.
Kemudian, lanjut Edy, untuk kesejahteraan para pegawai atau kaum buruh, akan terus diperhatikan melalui besaran Upah Minimum Kerja (UMK). Hal itu seiring terbitnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) 18/2022.
Sementara terkait adanya perubahan regulasi tentang penetapan upah minimum kota/kabupaten pada 2023, disambut baik oleh kalangan buruh. Hanya saja, mereka mendesak formulasi penentuan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) diperbaharui.
Meski regulasi mengalami perubahan, penentuan UMK dinilai tidak akan berpihak pada kaum pekerja. Soalnya, indikator penetapan KHL masih menggunakan skema lama.
“Pada regulasi saat ini, melalui Permenaker yang baru, kami menyambut baik akan hal tersebut. Dengan perubahan regulasi itu, berarti pemerintah secara tidak langsung mengakui jika formulasi penentuan UMK sebelumnya tidak aplikatif dan cenderung merugikan kalangan pekerja,” beber Anggota Dewan Pengupahan Kabupaten Bekasi, Mujito.
Pria yang tergabung dalam Serikat Pekerja Elektronika dan Elektrik pada Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Bekasi ini menjelaskan, dalam Permenaker terbaru ini, pemerintah kembali memasukkan inflasi, penyesuaian nilai upah dan pertumbuhan ekonomi daerah.
Namun, indikator penyesuaian nilai upah tidak dijelaskan secara rinci. Untuk itu, Mujito menilai, pihaknya akan meminta penyesuaian tersebut dilakukan dengan skema penetapan KHL beberapa tahun lalu.
Ketika itu, KHL ditetapkan melalui survei di lapangan, baik itu oleh perwakilan pengusaha, pekerja maupun pemerintah serta akademisi.
“KHL itu setiap tahun selalu dimasukkan dalam regulasi, tapi penerapannya tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Maka kami mendesak, KHL itu benar-benar indikatornya hidup yang layak bagi para pekerja,” saran Mujito.
Berdasarkan hitungan pihaknya, dengan memasukan KHL yang berdasarkan survei di lapangan, kenaikan UMK 2023 bisa mencapai 25 persen. Nilai tersebut telah disampaikan kepada pemerintah daerah melalui Disnaker Kabupaten Bekasi.
“Hitungannya, jika kenaikan bisa sampai 10 persen, tapi berdasarkan hitungan kami, itu kenaikan 25 persen. Nilai tersebut berdasarkan KHL berdasarkan survei di lapangan. Usulan tersebut pun sudah kami sampaikan ke Disnaker,” tuturnya.
Hanya saja, usulan buruh tidak serta merta disetujui. Rencananya, Dewan Pengupahan Kabupaten Bekasi akan mulai melakukan rapat usai penetapan UMP. (and)