Berita Bekasi Nomor Satu

Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres Berubah Sekelebat, Hakim MK Saldi Isra Bingung

Hakim MK Saldi Isra saat sidang putusan gugatan uji materi batas usia minimal capres dan cawapres dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10/2023). Foto: Ricardo/JPNN.

RADARBEKASI.ID, JAKARTA – Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra mengaku bingung dengan putusan MK yang berubah pendirian dan sikap hanya dalam waktu sekelebat soal putusan terkait perkara Nomor 90/PPU/XXI/2023 yang berisi permohonan menetapkan syarat usia capres-cawapres berusia minimal 40 tahun atau sudah berpengalaman sebagai kepala daerah.

Dalam perkara tersebut, MK telah mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai batas usia capres dan cawapres diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah.

Atas putusan tersebut, terdapat alasan berbeda (concurring opinion) dari dua orang hakim konstitusi, yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh, serta pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi, yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.

BACA JUGA: Tok! MK Tolak Gugatan Batas Minimal Usia Capres-Cawapres, Nasib Gibran Jadi Cawapres Ambyar

“Menimbang terhadap putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menasbihkan makna baru atas norma Pasal 169 hruf q UU 7/2017, saya memiliki pendapat berbeda. Saya menolak permohonan a quo, dan seharusnya mahkamah pun menolak permohonan a quo,” kata Saldi.

“Saya benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda ini,” kata pria kelahiran Paninggahan, Solok, Sumatera Barat itu.

Dia menuturkan, sejak menjadi hakim konstitusi pada 11 April 2017, baru kali ini mengalami peristiwa aneh yang luar biasa.

BACA JUGA: Sekjen PDIP Instruksikan Ini ke Kader Jelang Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres

“Dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” ujar Saldi dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK, Senin (16/10/2023).

Sebelumnya, dalam putusan MK Nomor 29-51-55/PPU-XXI/2023, mahkamah menyatakan ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk UU untuk mengubahnya, dan putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk UU.

“Apakah mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak terjadi secepat ini,” kata Saldi.

BACA JUGA: Kawal Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres, Polda Kerahkan Hampir 2.000 Aparat

Mahasiswa Teladan Berprestasi Utama I Universitas Andalas 1994 itu berpendapat, perubahan atau penambahan terhadap persyaratan capres dan cawapres sudah selayaknya dilakukan melalui mekanisme legislative review, dengan cara merevisi UU yang dimohonkan olah para pemohon.

“Bukan justru melempar bola panas kepada Mahkamah Konstitusi. Sayangnya, hal yang sederhana dan sudah terlihat jelas ini, justru diambil alih dan dijadikan beban politik mahkamah untuk memutusnya,” ujar Saldi.

Peraih gelar Master of Public Administration di Universitas Malaya (2001) dan gelar doktor di Universitas Gadjah Mada (2009) itu pun khawatir MK menjebak dirinya sendiri dalam pusaran politik yang pada akhirnya meruntuhkan kepercayaan publik kepada MK.

“Quo vadis Mahkamah Konstitusi?” kata Saldi.

Ketua MK: Berpengalaman Kepala Daerah di Bawah Usia 40 Tahun Dapat Jadi Capres Cawapres

Mahkamah Konstitusi (MK) menerima gugatan uji materi norma batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) yang diajukan oleh mahasiswa Universitas Negeri Surakarta (UNS) Almas Tsaqibbirru Re A.

Putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu dibacakan Ketua MK Anwar Usman dalam sidang Pembacaan Putusan di Ruang Sidang Utama Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).

Mahkamah membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.

“Mengadili, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” ujar Anwar Usman saat membacakan amar putusan.

Dia menyebutkan bunyi Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu yang mengatur syarat usia minimum capres-cawapres berubah.

“Menyatakan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu yang menyatakan, ‘Berusia paling rendah 40 tahun bertentangan dengan UUD 1945’,” urainya.

Atas putusan MK ini, seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun.

MK menyebut Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 tahun,” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

“Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah,” ujar hakim Anwar Usman.

Dengan begitu, Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi, “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Mahkamah berpendapat pembatasan usia minimal capres-cawapres 40 tahun berpotensi menghalangi anak-anak muda untuk menjadi pemimpin negara. (jpnn)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin