Oleh: Dahlan Iskan
Begitu banyak WA yang harus saya baca. Belum bisa sekarang –hari itu.
Saya lagi mendampingi anak muda yang sangat berpotensi untuk maju. Ini lebih penting.
Toh saya sudah tahu kira-kira apa isi WA –yang mendadak membanjiri HP saya itu.
Itu juga penting. Menyangkut agama dan akidah. Tapi soal anak muda yang saya dampingi itu juga penting. Ia ingin membawa perusahaannya ke lantai bursa.
Saya pun ikut ke Bursa Efek Indonesia (BEI) di SCBD Jakarta. Hanya sepelemparan gemoy dari rumah saya. Ikut tahapan awal proses go public perusahaan anak muda itu lebih penting.
Saya pun ikut ke Bursa Efek Indonesia (BEI) di SCBD Jakarta. Hanya sepelemparan gemoy dari rumah saya. Ikut tahapan awal proses go public perusahaan anak muda itu lebih penting.
Hari itu ia harus melakukan mini ekspose. Yakni satu tahap awal apakah perusahaan itu akan diizinkan untuk go public atau tidak.
Ia harus diuji di acara mini ekspose itu.
Anak muda itu aktivis Islam di Solo. Sekeluarga. Sejak ayahnya. Lalu terjun ke bisnis. Maju. Kini ia mau naik kelas: melantai di bursa saham. Masih banyak tahapan yang harus ia lalui. Tidak mudah.
Pada mini ekspose itu ia seperti menghadapi ujian doktor: tujuh ahli dari BEI ”membedah” prospektus yang ia ajukan.
Tujuh orang itu bergantian mengkritisi laporan perusahaannya. Soal izin-izin. Soal yang terkait hukum. Soal proses dan hasil audit keuangan. Soal produksi. Soal marketing. Soal standar prosedur (SOP) di semua bidang, pun sampai SOP di kas kacilnya.
Waktu mengantar ke lantai 6 gedung BEI yang menjulang tinggi itu saya terpana: kok anak-anak Sukoharjo ini ganteng-ganteng. Semua pakai jas hitam dan dasi serasi. Beda dengan saat saya ke sana lebih 10 tahun lalu: yang ia lagi menyapu rumah. Juga beda dengan kesederhanaan mereka saat ke rumah saya.
Justru saya yang terlihat paling kumuh di antara rombongan eksekutif muda itu. Mereka terlihat siap maju ke ujian penting –termasuk cara mereka berpakaian.
Di tengah-tengah ”ujian” itu saya full doa: semoga ia bisa menjawab semua pertanyaan dengan baik. Saya sendiri yakin ia bisa.
Ia sarjana kimia alumni Universitas Diponegoro. Ia menghayati apa yang ia kerjakan. Ia keloni perusahaannya dari detik ke menit. Ia bukan tipe anak muda yang kesusu berlagak jadi bos. Ia berkeringat. Ia berlumpur.
Tapi BEI tidak mengizinkan hanya ia yang menjawab pertanyaan. Seluruh direksinya juga harus ikut menjawab.
Saya sempat khawatir pada direktur keuangannya yang berjilbab rapat warna hitam itu. Lega. Ternyata dia mampu menjawab semua pertanyaan bidang keuangan. Bahkan terlihat sangat lugu –pertanda bukan tipe seorang keuangan yang suka goreng-goreng saham.
Rupanya BEI tidak ingin perusahaan yang IPO adalah perusahaan yang one-man show. BEI juga ingin tahu apakah semua direksi di perusahaan itu punya kemampuan mengelola perusahaan secara tim.
Semua perusahaan yang go public harus punya going concern: jangan sampai setelah IPO, setelah dapat uang dari bursa saham, perusahaannya plonga-plongo. Rugi. Lalu gemoy. Investor publik pun dirugikan.
Jauh sebelum mini ekspose itu ia, ayahnya dan direksinya sudah lebih dulu menjalani mikro ekspose: di rumah menantunya Pak Iskan yang di Pacet, Mojokerto.
Sudah pula saya tulis di Disway kapan itu. Anda tidak sulit menebaknya siapa ia. (Dahlan Iskan)