Berita Bekasi Nomor Satu

Mencermati Penguatan Rupiah

Radarbekasi.id – RUPIAH menguat selama hampir dua bulan terakhir. Kemarin mata uang garuda di pasar spot bertengger pada level Rp 13.639 per dolar AS (USD). Sementara itu, pada kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah tercatat di level Rp 13.654 per USD. Rentang Rp 13.600 itu sudah terjadi dalam beberapa waktu terakhir.

Sebelumnya rupiah betah berada di level Rp 14.000.

Rupiah bahkan sempat menjadi salah satu mata uang terkuat di dunia. Menurut saya, itu bagus untuk mendorong ekspor. Apalagi, neraca dagang kita masih defisit USD 3,2 miliar. Tapi, ada beberapa hal yang harus dicermati.
Rupiah menguat setelah Trump mengumumkan perjanjian dagang fase pertama dengan Tiongkok. Namun, apakah kemudian hubungan dagang itu akan terus membaik ke depannya? Apakah itu berarti perang dagang mereda sama sekali? Tidak ada yang tahu.

Saya rasa itu hanya tahap awal. Bagaimana dengan perjanjian fase ke-2 dan ke-3? Apakah itu akan benar-benar ada? Semua bergantung pemilu di AS. Saat ini di AS masih ramai dengan isu pemakzulan Trump.

Di sisi lain, permintaan impor crude palm oil (CPO) Tiongkok naik. Itu membuat kita mendapatkan devisa yang banyak dari para eksporter CPO. Harga minyak dan nikel juga naik. Namun, pada saat yang sama, tahun lalu defisit dagang dan transaksi berjalan kita bengkak gara-gara impor minyak. Ini bukan soal rupiah menguat, tetapi stabil. Dan, yang terpenting, fundamental ekonomi kita ke depan akan seperti apa.

Rupiah yang kuat baik untuk mendongkrak ekspor. Apalagi, ekspor manufaktur, tembaga, dan batu bara kita tidak sebagus CPO. Namun, kita juga harus menekan impor minyak. Sebab, kalau impor minyak naik lagi, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) melebar.

Sepanjang Januari ini, prediksi saya akan ada lebih dari Rp 25 triliun dana asing yang masuk. Untuk sementara, itu bagus untuk meningkatkan cadangan devisa. Rupiah juga terdongkrak. Namun, seperti siklus tahun-tahun sebelumnya, kuartal II selalu menjadi momen melemahnya nilai tukar karena musim pembagian dividen. Waspadai pelemahan rupiah pada April–Mei.

Jika pengusaha tidak melakukan lindung nilai (hedging), bisa bahaya. Pada pertengahan tahun lalu saja, rupiah melemah sampai Rp 14.500. Semoga tahun ini rupiah bisa lebih stabil. Kalaupun melemah, masih dalam batas yang wajar. Sebab, pengusaha, eksporter, maupun importer tentu akan lebih nyaman dengan volatilitas nilai tukar yang terkendali.

Pada Januari ini, sebaiknya rupiah tidak lebih kuat dari angka Rp 13.600 supaya pengusaha tidak shock. Kalau ada dana asing masuk dari penerbitan obligasi, baik dalam USD maupun EUR, misalnya, sebaiknya BI tetap memantau dengan baik pergerakan di pasar. Bulan depan, kemungkinan rupiah akan bergerak antara Rp 13.600 hingga Rp 13.800. Tahun ini juga sebaiknya rupiah jangan sampai terlalu jatuh. Jangan sampai tembus Rp 15.000.

Ke depan aliran dana asing masih masuk ke Indonesia. Selain yield yang kita berikan cukup atraktif, investor percaya pada fundamental ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 (menunggu BPS) diprediksi tidak terlalu jeblok seperti negara-negara lain. Inflasi kita juga landai. BI juga memutuskan suku bunga BI 7 days reverse repo rate (BI-DRR) dengan perhitungan yang cermat.
Hal yang lebih luas dari pergerakan nilai tukar adalah pertumbuhan ekonomi kita tahun ini. Kita patut waspada karena pertumbuhan impor barang modal (mesin, alat-alat bantu produksi) tahun lalu yang terendah se-Asia Tenggara. Artinya, industri kita mungkin akan tumbuh melambat. Faktor perang dagang juga mungkin masih ada karena perjanjian dagang fase pertama AS dengan Tiongkok juga belum menunjukkan hasil yang signifikan bagi ekonomi secara global.

Sebaiknya, pemerintah menjaga fundamental ekonomi, kelola utang dengan baik. Itu tak kalah penting dari mengandalkan dana asing yang sewaktu-waktu bisa keluar sehingga melemahkan nilai tukar. (*)

Kepala Ekonom BCA. Disarikan dari wawancara dengan Wartawan Jawa Pos, Shabrina Paramacitra.

Solverwp- WordPress Theme and Plugin