Berita Bekasi Nomor Satu

Berolahraga Membunuhmu?

Radarbekasi.id – JUDUL tersebut saya temukan di status media sosial seorang kerabat yang umumnya tertulis di bungkus rokok dengan kalimat Merokok Membunuhmu. Tulisan itu, tampaknya, ditujukan sebagai respons atas meninggalnya seorang artis yang dikabarkan menjalani gaya hidup sehat dan rutin berolahraga baru-baru ini.

Kematian mendadak yang umumnya disebabkan serangan jantung dalam setting olahraga selalu mendapat atensi sosial yang tinggi, terutama bila terjadi pada public figure. Hal tersebut terjadi karena eratnya asosiasi bahwa seseorang yang berolahraga akan menjadi sehat dan kegiatan itu dilakukan oleh orang-orang yang ’’dianggap’’ sehat.

Penyebab Kematian Akibat Olahraga
Studi epidemiologi menunjukkan, penyebab serangan jantung pada olahragawan umumnya terbagi menjadi dua. Pertama, memiliki kelainan jantung secara bawaan/sejak lahir (tersering adalah hypertrophy cardiomyopathy). Kedua, penyakit jantung koroner.

Serangan jantung akibat adanya kelainan bawaan biasanya dialami olahragawan berusia muda (berusia kurang dari 35 tahun), menjalani olahraga kompetitif, kebugaran fisik baik, memiliki jadwal latihan rutin, dan menjalankan pola hidup sehat.

Serangan jantung akibat adanya penyakit jantung koroner umumnya dialami nonatlet atau olahragawan rekreasional, berusia lebih dari 35 tahun, dan sudah memiliki faktor risiko penyakit jantung seperti obesitas, profil lemak buruk, diabetes, hipertensi, dan merokok.

Kematian pada olahragawan usia muda (kurang dari 35 tahun) akibat adanya kelainan jantung bawaan adalah 1,2–2,5 kematian/100 ribu orang/tahun (Harmon K.G. et al, 2014), sedangkan kematian yang terjadi pada olahragawan rekreasional (lebih dari 35 tahun) adalah 21,7 kematian/1 juta orang/tahun (Marijon E. et al, 2015).

Angka tersebut tentu saja jauh lebih rendah bila misalnya dibandingkan dengan jumlah kematian pasien kanker akibat merokok di Indonesia pada 2013 yang mencapai 74.440 jiwa atau sekitar 30,6 persen dari total kematian pasien kanker dan memberikan beban biaya kesehatan sekitar Rp 16,9 miliar (Kristina S.A. et al, 2015).

Kajian dari Finocchiaro G., et al (2016) di Inggris menunjukkan, mayoritas serangan jantung pada olahragawan, baik profesional maupun rekreasional, terjadi saat sedang berolahraga (61 persen) dan sisanya terjadi saat istirahat (39 persen).

Dari olahragawan yang mengalami serangan jantung saat istirahat, 34 persennya terjadi saat tidur. Di Indonesia, data mengenai hal itu masih terbatas karena pemeriksaan forensik untuk menilai penyebab kematian pada olahragawan jarang dilakukan.

Orang dengan kelainan jantung bawaan sering kali tidak menyadari karena tidak bergejala atau gejala yang timbul sangat minim. Beberapa tanda yang mungkin muncul adalah denyut nadi yang tidak teratur, terkadang merasa berdebar-debar, atau denyut nadi yang terlalu rendah (kurang dari 60 kali per menit/bradycardia) meski dia bukan atlet terlatih.

Pada kasus penyakit jantung koroner, gejala angina atau nyeri dada kiri yang menjalar ke lengan maupun tengkuk saat terjadi peningkatan aktivitas fisik patut diwaspadai, ditambah gejala napas terasa ’’pendek’’, merasa mudah lelah, serta mendadak berkunang-kunang atau pingsan.

Medical Check – up
Pemeriksaan medis atau medical check-up merupakan salah satu upaya untuk memeriksa faktor risiko penyebab serangan jantung, terutama bila seseorang jarang berolahraga dan/atau hendak memulai olahraga. Biasanya dokter akan memeriksa rekam jantung (elektrokardiogram), rekam jantung saat aktivitas (treadmill test), atau echocardiogram sesuai dengan kebutuhan.

Penilaian komposisi tubuh (indeks massa tubuh, lingkar perut, persentase lemak tubuh) dan pemeriksaan biokimia darah seperti profil lemak (kolesterol, trigliserida, HDL, LDL), profil gula darah, asam urat, fungsi hati, serta fungsi ginjal sering kali juga dilakukan untuk menilai faktor risiko penyakit jantung. Idealnya, medical check-up dilakukan secara berkala setiap 6 bulan sampai 1 tahun, terutama bila usia sudah lebih dari 30 tahun.

Olahraga dengan Aman
Berolahraga tidak mengakibatkan masalah kesehatan sampai risiko kematian pada individu yang sehat, tapi bahkan terbukti mampu mencegah berbagai macam penyakit kronik degeneratif dan meningkatkan kualitas kesehatan seseorang.

Namun, bagaimanapun, olahraga merupakan stres fisik sehingga bila dilakukan secara tidak tepat akan menimbulkan masalah kesehatan, bahkan kematian, pada individu yang telah memiliki faktor risiko penyakit jantung.

Mayoritas serangan jantung disebabkan volume latihan yang terlalu berat, baik intensitasnya yang terlalu tinggi maupun durasinya yang terlalu lama, atau kombinasi keduanya. Umumnya, olahraga aerobik tipe III yang berbentuk permainan seperti futsal, sepak bola, basket, tenis, atau bulu tangkis memiliki intensitas yang berubah-ubah (naik turun sesuai irama permainan) sehingga memicu aritmia (gangguan irama jantung).

Karena itulah, bentuk aerobik tipe III tidak dianjurkan untuk orang yang berisiko dan tidak rutin berolahraga, kemudian diganti dengan aerobik tipe I dan II yang iramanya lebih konstan seperti jalan cepat, joging, bersepeda, berenang, eliptikal, dan senam.

Durasi olahraga yang terlalu lama (meski dilakukan pada intensitas sedang) juga berisiko memicu serangan jantung. Sebab, beban fisik yang diberikan terlalu lama dapat melampaui batas kemampuan kerja jantung.

Olahraga berat juga tidak dianjurkan saat tubuh terlalu lelah, kurang istirahat, atau dalam kondisi sakit. Tubuh yang tidak fit dapat menurunkan kemampuan kompensasi terhadap pembebanan fisik yang diberikan meski sebelumnya dia telah rutin berolahraga.

Manusia memiliki tubuh yang adaptif. Karena itu, bagi yang jarang berolahraga, disarankan untuk memulai latihan dengan intensitas ringan-sedang, kemudian durasi dan intensitasnya ditingkatkan secara perlahan seiring dengan kerutinan olahraga yang dilakukan.

American College of Sports Medicine menganjurkan olahraga aerobik dengan intensitas sedang total 150 menit per minggu (sekitar 30 menit/hari) dan latihan beban dengan intensitas sedang 2–3 kali per minggu bagi seseorang yang ingin mendapat kemanfaatan optimal dari olahraga.

Seseorang yang hasil pemeriksaannya telah menunjukkan masalah pada jantung wajib mengubah intensitas olahraganya pada batas yang aman, umumnya berintensitas rendah (low static/low dynamic exercise). Bila diperlukan, konsultasikan dengan dokter olahraga untuk mendapatkan rekomendasi latihan yang sesuai.

Salam bugar, salam olahraga! (*)

Spesialis kedokteran olahraga; dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta; awardee LPDP Program Doktor University of Amsterdam, Belanda


Solverwp- WordPress Theme and Plugin