Berita Bekasi Nomor Satu
Opini  

Spirit ”Tajdid” Dalam Pandemi Covid-19

Pada akhirnya kita harus menyadari bahwa pandemi Covid-19 ini mengajarkan kepada kita tentang keharusan untuk terus beradaptasi dan bertransisi. Dan semua itu sarat akan muatan keislaman.

Mari kita lihat ulang perjalanan kita dalam beberapa waktu terakhir yang penuh dinamika ini.

Sudah kurang lebih tiga pekan Hari Raya Idul Fitri berlalu. Sebagaimana dirasakan banyak orang, Hari Besar Umat Islam itu dilalui dengan situasi dan perasaan yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Diawali dengan menjalani ibadah puasa Ramadan minim sorak-sorai, perdebatan salat Ied di lapangan atau di rumah, hingga kampanye untuk menunda bertamu dan menerima tamu dalam rangka silaturahmi Idul Fitri.

Ya, masa pandemi memaksa umat untuk beradaptasi. Sesuatu yang awalnya dianggap ajeg dan tetap, ternyata bisa juga berubah.

Awam sebelumnya tak pernah mengira bahwa lafaz ‘’hayya ‘alashshalaah’’ (marilah kita salat) dalam azan bisa diganti dengan ‘’shalluu fi buyuutikum’’ (salatlah di rumah-rumah kalian). Sebuah praktik, yang setahu saya, tidak ada presedennya di Indonesia.

Pergantian lafaz itu tentu saja berupa ajakan untuk umat, agar tidak berangkat ke masjid dan salat di rumah karena alasan tertentu. Yang dalam konteks sekarang tentu saja untuk memutus laju penyebaran Covid-19.

Contoh lain misalnya, berbagai organisasi Islam menerbitkan fatwa yang mengimbau masjid untuk tidak menggelar salat Jum’at (diganti dengan salat Dzuhur) selama beberapa pekan.

Kontan masyarakat tersentak dibuatnya. Salat Jum’at adalah wujud perayaan hari raya kecil dalam sepekan. Mengapa ia sampai ditiadakan?

Kini, situasi mulai bergeser pelan-pelan. Lafaz azan ‘’shalluu fi buyuutikum’’ tak lagi terdengar. Masjid-masjid sudah bisa menggelar kembali salat lima waktu, dan juga salat Jum’at.

Namun pergeserannya juga tak sampai 100 persen normal. Masih banyak hal yang dulunya tiada, kini menjadi ada. Kita yang dulu bisa asal datang ke masjid, sekarang harus mematuhi dan melalui sejumlah aturan dan protokol. Pakai masker, bawa sajadah sendiri, pengecekan suhu tubuh, adalah di antaranya.

Pandemi Covid-19 mengajari kita makna beradaptasi. Keengganan untuk menyesuaikan diri berpotensi mengancam keselamatan diri, pula orang lain.

***

Sementaraitu, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah dengan berbagai macam fasenya telah dilalui. Setelahnya, masyarakat dihadapkan dengan beragam kebijakan yang selalu berubah dan terbarukan.

Sejumlahpemerintah daerah ada yang mewacanakan fase ‘’kelaziman baru’’ (New Normal). Seperti di Kota Bekasi, Presiden melakukan kunjungan ke sebuah pusat perbelanjaan untuk mengecek persiapan dan kesiapan terkait kelaziman baru ini.

Di DKI, kebijakan serupa tapi tak sama juga dilakukan. Alih-alih mengulang-ulang istilah ‘’New Normal’’, Pemerintah Provinsi DKI memakai istilah ‘’PSBB transisi’’ menuju masyarakat sehat, aman, dan produktif.

Dalam suatu kesempatan jumpa pers, Gubernur Anies Baswedan menjelaskan bahwa istilah ‘’PSBB transisi’’ dipilih karena ‘’New Normal’’ belum banyak dipahami masyarakat.

Rupanya, selain adaptasi, pandemi ini juga memberi hikmah penting lainnya : transisi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, lema transisi bermakna ‘’Peralihan dari keadaan (tempat, tindakan, dan sebagainya) pada yang lain.’’

Kita memang selalu beralih dan berpindah dari suatu titik ke titik yang lain. Pergerakan itu bukannya tanpa tujuan. Perlu ada stasiun akhir di mana kita berlabuh.

Bagi Pemprov DKI, kebijakan PSBB transisi adalah fase transit menuju masyarakat yang lebih siap menghadapi Covid-19 dengan tiga paramater : sehat, aman, produktif. Fase transit pun bisa diperpanjang hingga 2 Juli 2020. Jika pada 2 Juli 2020 tujuan belum tercapai juga, fase transit yang diperpanjang itu mungkin akan diperpanjang kembali.

***

Dalam Islam, adaptasi dan transisi adalah konsep penting untuk menjalankan syariat. Filsafat hukum Islam atau yang biasa dikenal dengan ‘’Ushulul Fiqh’’, mengenalkan konsep ‘’yang tetap dan yang berubah’’ (attsawaabit wal mutaghayyiraat).

Konsep ini mengandaikan bahwa hukum tidak berlaku statis. Ia berjalan dinamis sesuai situasi dan kondisi yang berubah sebagai faktor pendorongnya. Seperti Covid-19 ini, banyak ritual keagamaan yang sebelumnya dilakukan dengan cara A, kemudian berubah dengan cara B seperti yang disampaikan di muka.

Begitu juga dengan transisi. Siapa tak kenal ‘’hijrah’’ ? ‘’Hijrah’’ secara bahasa berasal dari akar haajara yang bermakna berpindah dari suatu tempat ke tempat lain untuk tujuan menemukan kenyamanan dan keamanan. Hijrah sudah diserap pula oleh bahasa Indonesia menjadi ‘’hijrah’’ dengan makna yang kurang lebih sama.

Hijrah adalah tuntunan yang mengajak umat untuk selalu bergerak menuju tujuan yang ideal. Sampai-sampai, praktik hijrah yang dilakukan Rasulullah saw dan para sahabatnya menjadi inspirasi lahirnya pelbagai instrumen hukum internasional moderen terkait pengungsi dan pencari suaka (Refugee Law) (Abou El-Wafa: 2009)

Kisah hijrah pertama Nabi SAW ke Negeri Abyssinia (sekarang Ethiopia) untuk meminta perlindungan ke raja yang adil bernama Najasyi, dan kisah hijrah kedua Nabi SAW ke Yatsrib (sekarang Madinah) yang ditolong dan disambut dengan suka cita oleh penduduk setempat, adalah bagian dari ragam aktualisasi hijrah.

Kini, kita dituntut pula untuk berhijrah dari hidup tanpa protokol Covid-19 menuju hidup dengan protokol Covid-19.

Bagi Muhammmadiyah, adaptasi dan transisi sangat kental dengan corak gerakan tajdid sebagaimana ditegaskan dalam pasal 4 Anggaran Dasar Muhammadiyah.

Tajdid menngambarkan orientasi gerakan yang meliputi dua hal (Nashir: 2017). Pertama, dalam bidang akidah dan ibadah, tajdid bermakna pemurnian (tajrid). Dalam arti, merawat kemurniaan Islam pada dimensi akidah dan tata cara ibadah seusai tuntunan Nabi SAW.

Kedua, dalam bidang mumalat duniawiyah, tajdid bermakna dinamisasi kehidupan masyarakat dengan semangat kreativitas dan inovasi. Termasuk misalnya, respon Muhammadiyah dalam menangani Covid-19 dengan membentuk Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC).

Akhirul kalam, pandemi ini mengingatkan kita untuk selalu beradaptasi dan bertransisi dengan kata lain ‘bertajdid’ menuju tatanan masyarakat yang ideal. Seraya meyakini, ia adalah tuntunan syar’i. (*)

 

Solverwp- WordPress Theme and Plugin