Berita Bekasi Nomor Satu

PKS Oranye

KONFLIK kadang membawa kebaikan. Tentu saya tidak tahu akar konflik di PKS yang sampai melahirkan Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia.

Tapi saya melihat PKS berubah tidak lama setelah itu. Setidaknya logo partai itu baru saja berubah. Perubahan itu diresmikan di Munas PKS pekan lalu.

Gambar kabah di tengah logo itu dihilangkan. Lalu, kesan warna keseluruhannya menjadi oranye: warna Belanda. Dari warna ke-Arab-Araban menjadi warna ke-Belanda-Belandaan.

Bintang sabit kembarnya masih ada. Tinggal itu yang masih terlihat Islam.

PKS kelihatannya ingin menjadi semakin ”meng-Indonesia”.

Dan lagi warna baru logo PKS itu kelihatannya semakin mendekat ke  merah –bukan dari putih ke warna hijau.

Logo adalah simbol. Simbol adalah perlambang.

Pertanda-pertanda apakah semua itu?

PKS sering mengundang orang luar untuk berbicara di forum mereka. Saya termasuk salah satu orang luar itu. Dulu. Lama sekali.

Di forum pimpinan PKS itu saya menyampaikan apa adanya –yang ada di pikiran saya waktu itu. Yang masih relevan sampai sekarang ini: bahwa PKS itu berada di persimpangan jalan.

Kalau ingin terus mempertahankan warna yang sekarang, ukuran PKS ya akan segini-segini saja. Kalau toh membesar tidak akan banyak.

Kalau kenaikan seperti itu diproyeksikan secara statistik maka diperlukan ratusan tahun untuk bisa mencapai tujuan berpolitik: meraih kekuasaan.

Itu pun kalau tidak keburu ”meledak” dari dalam.

Maka, kalau ingin bisa besar, PKS harus hijrah.

Beranikah?

Jangan-jangan kalau meninggalkan warna yang ada sekarang justru kehilangan basisnya sendiri.

Itulah yang saya sebut sebagai persimpangan jalan itu. Bisa ke arah surga tapi bisa juga ke arah neraka. Bisa ke jalur restoran bisa juga ke arah jalur kuburan.

Saya masih ingat saran saya ketika itu –sebagai orang luar: PKS harus berani mengubah ideologi. Sekaligus untuk kebaikan Indonesia. Dari ideologi Islam ke ideologi kesejahteraan. Agar tetap berasa Islam, tidak masalah kalau diberi penjelasan: kemakmuran dunia dan akhirat.

Tapi –dan inilah enaknya orang yang modalnya hanya ngomong– saya tidak bertanggung jawab kalau dengan perubahan itu PKS justru kehilangan basisnya.

Yang bisa menghitung tentu orang PKS sendiri. Jangan sampai ”lahan baru gagal di dapat, lahan lama telanjur hilang”. Kalau itu yang terjadi hanya akan ibarat pepatah: mengejar lobster kehilangan benur.

Yang jelas saya tetap berpendirian “ideologi yang masih akan laku di masa depan adalah ideologi kemakmuran”.

Kemakmuran itu hanya bisa diraih lewat ketenteraman yang panjang. Tidak ada kemakmuran yang tercipta lewat perang, konflik, kerusuhan, atau heboh-heboh.

Memang ada orang yang bahagia lewat huru-hara. Tapi percayalah yang begitu itu tidak banyak –dalam persentase. Sayangnya suara yang tidak banyak itu mendominasi angkasa.

Tapi sepanjang jalur demokrasi tetap jadi pegangan tidak akan ada tempat politik aliran sempit.

Heboh-rusuh adalah perjuangan di jalur revolusi. Kemakmuran adalah perjuangan di jalur demokrasi.

Tentu saya juga mencatat ini: sudah lama PKS ingin lebih ke tengah. Misalnya, ketika memilih melaksanakan Munas di Bali yang didominasi merah. Pun dengan tampilan Munas yang sangat Bali.

Saya juga melihat PKS bisa menerima caleg non-muslim. Meski masih khusus di basis non-muslim. Saya pernah bertemu teman Kristen yang ternyata anggota DPRD dari PKS.

Tapi saya juga melihat selalu saja ada godaan untuk ke kanan lagi, ke kanan lagi.

Saya tidak tahu apakah soal ini yang membuat lahirnya partai Gelora.

Saya pernah diundang acara besar Partai Gelora. Bulan lalu. Saya melihat warna partai ”pecahan” PKS ini memang lebih ke tengah.

Ramai-ramai ke tengah adalah gejala yang sangat baik untuk Indonesia. Tentu lebih baik lagi kalau yang di kiri juga kian ke tengah.

Kita tidak bisa mengabaikan kenyataan ini: kanan dan kiri. Sama-sama besar. Kalau kanan yang menang, kiri akan heboh. Kalau kiri yang menang kanan akan heboh.

Kelompok tengah selalu yang jadi korban. Kelompok tengah ini selalu berharap agar yang berkuasa di negara ini adalah kiri-dalam atau kanan-dalam. Bukan kiri-luar atau kanan-luar.

Sebelum itu tercapai, kelompok tengah harus lebih sabar menunggu kemajuan cepat Indonesia.

Indonesia punya peluang sangat besar untuk maju dengan cepat. Asalkan tidak ada ”winner takes all”. Asal pemenang pemilu tidak merasa berhak mengambil keseluruhannya.

Kita bukan Amerika, yang Joe Biden hanya menang 0,25 persen tapi mendapatkan 100 persen kursi di Georgia.

Atau, seperti kata-kata Anis Matta, ketua umum Gelora, yang saya dengar di acara tersebut: “Langit itu sebenarnya tidak tinggi-tinggi amat, hanya kita yang terbang terlalu rendah”.

Dengan logo barunya itu PKS kelihatan ingin terbang tinggi. Apalagi setelah melihat lahan lamanya tidak akan diambil Gelora.

Logo baru itu menandakan PKS sedang ”berubah” dengan strategi ”bergeser”. Warna baru itu memang terasa lebih segar dan meriah. Tapi adil dan sejahtera memang masih begitu jauhnya.(*)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin