Berita Bekasi Nomor Satu
Opini  

Krisis Identitas Budaya Anak Sekolah Bertaraf Internasional

Yessica Ekayuni
Yessica Ekayuni

’’Where are you really from?” Adalah kalimat pertanyaan yang menimbulkan kebingungan bagi sebagian anak. Apa yang dia tanyakan? Apa maksudnya? Apakah pertanyaannya itu adalah asal negara? Dimana saya lahir? Dimana saya tinggal sekarang?  Atau dimana orang tua saya tinggal?

Kita sudah mengenal persoalan ini dengan anak-anak TCK (Third Culture Kid). TCK adalah anak yang tinggal bersama orang tua di luar negara asalnya atau di luar kebudayaan asal orang tuanya dalam kurun waktu yang cukup lama.

Tetapi dewasa ini pertanyaan itu juga kerap kali diajukan oleh orang yang berkenalan dengan anak-anak Indonesia yang bersekolah di SBI (Sekolah Bertaraf International).

Anak yang lahir, tinggal dan besar di Indonesia, memiliki orang tua Indonesia tetapi tidak bisa berbahasa Indonesia. Anak-anak ini akan kesulitan menjawab pertanyaan tersebut atau  setidaknya butuh waktu untuk mendeskripsikan dan menjelaskan identitasnya.

Ketika ia menjawab I’m from Indonesia, jawaban tersebut akan mengundang pertanyaan berikutnya yang lebih sulit untuk dijawab, misalnya : kalau kamu orang Indonesia, kenapa tidak bisa berbahasa Indonesia?

Berbeda dengan TCK yang memang tidak tinggal atau menetap di satu negara sehingga mempunyai kecenderungan menggabungkan birth culture mereka dengan adopted culture dan membentuk budaya mereka sendiri yang disebut a third culture.

Anak-anak yang bersekolah di SBI sesungguhnya berada di Indonesia, tetapi merasa seperti orang asing (outsider), feel out of place, orang yang tersesat. “Jadi dimanakah rumah/keluargaku?” “Apa identitas diriku?” Identitas terikat dengan rasa memiliki yang biasanya ada pada ikatan keluarga, kerabat dan hubungan/relasi yang mendalam.

Sejak usia dini, anak- anak SBI belajar bahasa dan budaya yang berbeda dari budaya asalnya. Hal tersebut membuat mereka sangat fasih berbicara bahasa negara lain dan tidak lagi mengenal bahasa negara asalnya.

Hal itu menimbulkan masalah dan kesulitan bagi mereka dan keluarganya karena mereka tinggal di Indonesia. Permasalahan tersebut berkorelasi negatif terhadap harmonisasi keluarga dan interaksi sosial karena kesulitan dalam berkomunikasi dan perbedaan norma, nilai, cara pandang antara anak dengan keluarga.

Sekarang ini banyak kursus bahasa Indonesia, di daerah Jakarta Utara dan Jakarta Selatan, untuk anak Indonesia yang lahir dan tinggal di Indonesia tetapi tidak bisa berbahasa Indonesia. Bahasa ibu sudah tergantikan sejak usia dini ketika mereka sekolah di SBI.

Kesulitan dalam interaksi sosial akan berdampak pada pengembangan identitas. Anak-anak yang bersekolah di SBI akan berhubungan hanya dengan anak SBI juga dan menimbulkan eksklusivitas yang akhirnya membentuk identitas.

Anak-anak SBI dalam tahun-tahun perkembangannya dididik dalam budaya yang berbeda dari budaya orangtua atau pengasuh utama mereka sehingga tidak memiliki keterikatan dengan budaya asal.

Komunikasi antar manusia dengan bahasa merupakan komunikasi budaya. Di dalam bahasa terdapat banyak kandungan ragam norma, nilai, budaya.

Budaya Indonesia berbeda dengan budaya bangsa lainnya. Bahasa sebagai identitas budaya juga tercermin dalam gerak tubuh, jadi tanpa mengucapkan kata atau kalimat, cukup dengan gerakan tubuh saja dapat mengisyaratkan suatu arti.

Terdapat persamaan dan perbedaan makna bahasa, baik verbal maupun non verbal. Persamaan makna bahasa terjadi karena terdapat nilai universal pada budaya, sedangkan perbedaan muncul karena masing-masing bangsa memiliki identitas budaya dan interprestasi masing- masing.

Seperti fenomena gunung es (iceberg phenomenon) pada masalah bahasa yang dialami oleh anak-anak  yang bersekolah di SBI, jika dikaji lebih dalam lagi mengandung permasalahan yang lebih kompleks.

Masalah dalam penggunaan bahasa hanya manifestasi kecil dari masalah yang lebih besar yaitu Budaya. Budaya merupakan cerminan pola hidup suatu masyarakat tertentu yang sangat kompleks, abstrak dan luas dan mempengaruhi perilaku komunikatif.

Seseorang seharusnya mengerti budayanya sendiri terlebih dahulu sebelum mengerti budaya yang lain. Kemampuan mengerti budaya sendiri (cultural identity) dan mengenal budaya yang lain dalam keberagaman (cultural diversity) dan sikap tidak menghakimi akan membentuk pondasi yang baik hubungan mutualisme dalam memasuki dunia global ataupun era digital.

Sayangnya, anak-anak SBI tidak memiliki pondasi ini karena sebelum mereka mulai diperkenalkan dengan budaya lain sejak usia anak-anak. ESL (English as a Second Language) di anak-anak SBI berubah maknanya menjadi English as a First Language.

Anak-anak SBI belum mempunyai pondasi kuat dalam cultural self-awareness karena itu mereka umumnya akan berhadapan dengan cross cultural situation, mereka cenderung akan memilih satu budaya yang paling kuat dalam ingatan, pikiran dan pengalaman yaitu budaya yang diajarkan di SBI walaupun budaya tersebut berbeda dengan budaya Indonesia.

Kecenderungan itu terus terjadi dalam keseharian dan membentuk kebiasaan dan akhirnya mereduksi budaya asli mereka yaitu budaya Indonesia dan mengaplikasikan seluruhnya budaya yang diterima mereka dalam proses belajar mengajar di SBI.

Ada contoh cerita unik yang menunjukkan kegagalan intrepretasi komunikasi.

Suatu ketika seekor Kuda Laut mengumpulkan seluruh kekayaannya dan ingin mencari fortune di luar lingkungan tempat tinggalnya. Belum lama dia berjalan, dia bertemu dengan Belut yang bertanya: “Hai..kamu mau kemana?” ’’Saya sedang keluar mencari fortune saya.” jawab Kuda Laut dengan bangganya.

“Kamu beruntung. Dengan memberikan kepada saya sebagian dari kekayaanmu, saya akan memberikan sirip cepat yang akan membawamu ke fortune kamu dengan lebih cepat.”  “wow..oke” kata Kuda Laut dan memberikan separuh kekayaannya kepada si Belut.

Kuda Laut memakai sirip itu yang memang membuat dia menempuh perjalanan jadi dua kali lebih cepat. Tidak lama ia bertemu dengan terumbu karang yang menyapanya ’’Hai..kamu mau kemana?” ’’Saya sedang keluar mencari fortune saya.” jawab Kuda Laut dengan bangganya.

’’Kamu beruntung. Dengan biaya tidak banyak saya akan memberikan kamu skuter jet supaya kamu dapat menemukan fortune jauh lebih cepat.” Kuda Laut pun membeli skuter jet tersebut dengan kekayaannya yang tersisa dan menempuh perjalanan lima kali lebih cepat dari biasanya.

Tidak lama kemudian dia bertemu dengan Hiu yang menyapanya“Hai..kamu mau kemana?”

“Saya sedang keluar mencari fortune saya.” jawab si Kuda Laut dengan bangganya. ’’Kamu beruntung. Jika kamu mengambil jalan pintas ini, kamu akan segera menemukan fortune yang kamu cari.” (sambil Hiu membuka besar mulutnya).

’’Woo..terima kasih,” kata Kuda Laut dan segera menambah kecepatannya masuk ke dalam mulut Hiu dan sampai sekarang tidak pernah terlihat lagi.

Cerita fabels di atas mau menggambarkan betapa berbahayanya orang yang tidak memiliki intercultural competence dalam era globalisasi/era digital ini.

“Power comes not from the barrel of a gun, but from one’s awareness of his or her own cultural strength and the unlimited capacity to empathize with, feel for, care, and love one’s brothers and sisters.” Addison Gayle Jr. (*)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin