Berita Bekasi Nomor Satu
Bekasi  

Utara Bekasi Terancam Tenggelam

DIPREDIKSI TENGGELAM : Banjir Rob di kampung Sembilangan Tarumajaya Kabupaten Bekasi, beberapa waktu lalu. Banjir Rob yang kerap terjadi di Tarumajaya diprediksi akan menenggelamkan sejumlah wilayah pada 2030 mendatang.ARIESANT/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI SELATAN – Pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden saat berpidato tentang perubahan iklim menuai beragam reaksi. Dia menyebut DKI Jakarta Jakarta akan tenggelam 10 tahun mendatang. Dalam roadmap situs climate central, daratan di Utara Bekasi termasuk menjadi wilayah yang terancam tenggelam pada tahun 2030 mendatang.

Ada banyak wilayah di sepanjang utara Pulau Jawa yang ditandai warna merah, artinya terancam tenggelam. Wilayah di Utara Bekasi termasuk, diantaranya adalah Harapan Indah (HI), Pondok Ungu, sampai Tarumajaya yang terancam tenggelam akibat perubahan iklim, pemanasan global, hingga air tanah yang terus dipompa.

Dalam road map ini, wilayah berwarna merah semakin lebar seiring bertambahnya tahun. Hal ini harus segera diantisipasi melalui mitigasi bencana sebelum ancaman tenggelam makin serius.

Aktivis lingkungan sekaligus mantan Ketua Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta, Bagong Suyoto menyebutkan wilayah Pantura rawan tenggelam akibat peningkatan air laut. Terutama sekali daerah pesisir wilayah Utara, pihaknya pernah memperingatkan dan mengkritik guna menolak reklamasi puluhan kilometer, sampai Karawang.

Jika itu terjadi, maka kegiatan reklamasi akan menambah faktor perubahan iklim dan pengambilan air tanah.”Nah yang kita khawatirkan ini Bekasi bagian Utara, ini pasti kena juga. Itu dampak dari pembangunan, kegiatan manusia, industri, yang tidak pro terhadap keberlanjutan (kehidupan), tidak pro terhadap lingkungan,” ungkapnya, Minggu (15/8).

Dua masalah pokok dari perubahan iklim, pemanasan global sehingga berujung bencana alam ini adalah benturan antara investasi dan lingkungan. Pembangunan atau industrialisasi seyogyanya tidak hanya berpatokan pada kecepatan realisasi dan profit, mengabaikan kepentingan lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan.

Pemerintah perlu mempersiapkan mitigasi bencana berdasarkan kajian ilmiah bersama dengan para pakar untuk mengantisipasi, ia menilai sejauh ini belum ada langkah tersebut dilakukan oleh pemerintah.

Bencana yang dikhawatirkan oleh banyak pihak ini dijabarkan tidak saja merenggut harta benda dan tempat tinggal manusia, melainkan ekonomi, sejarah kebudayaan, sampai korban jiwa yang tak ternilai harganya.

Maka, berdasarkan roadmap situs climate central, ada 162 ribu jiwa lebih di wilayah Medan Satria, ditambah dengan 132 ribu lebih di wilayah Tarumajaya. Ratusan ribu jiwa tersebut akan kehilangan tempat tinggal, harta benda lain, mengalami kerugian ekonomi, hingga kehilangan sejarah budayanya.

“(Kerugian) bukan hanya ekonomi saja, ya tragedi kemanusiaan, kalau hanya masalah ekonomi ringan. Ini akan menelan korban harta benda, (jiwa) manusia, sejarah budaya,” tambahnya.

Tiga hal yang perlu dilakukan secara cepat oleh pemerintah yakni membuat kajian ilmiah mulai dari akar permasalahan, lalu menerapkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dengan ketat. Terakhir, mengajak pengusaha memperlakukan lingkungan hidup sebagai bagian dari investasi, serta mengikut serta masyarakat dalam pelaksanaannya.

Sementara itu, Pengamat Tata Kota, Yayat Supriatna menjabarkan bahwa memperbanyak hutan bakau akan meminimalisir masuknya air laut ke pori-pori air tanah di wilayah pesisir. Ditegaskan bahwa ancaman daerah pesisir bukan hanya ancaman tenggelam, tapi juga intrusi air laut sudah mengancam, mengkontaminasi air tanah.

“Jadi mau tidak mau ya kita harus berupaya untuk membuat zona hijau sepanjang pesisir pantai,” katanya.

Mengatasi semakin tingginya air laut, pemerintah tidak mungkin mengatasinya dengan pilihan membangun tembok di sepanjang pesisir wilayah Jakarta hingga Bekasi. Wilayah pesisir Utara Bekasi harus dibuat sebagai zona pengendalian ruang secara ketat.

Perlu ditegaskan melalui tata ruang yang dimiliki, menjadikan kawasan pesisir sebagai kawasan terlarang untuk permukiman dan industri. Beberapa kegiatan yang bisa dilakukan hanya kegiatan seperti pertanian dan perikanan.

Sejauh ini ia melihat pemerintah belum berbuat banyak terkait dengan kawasan pesisir, untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan lindung seringkali terhalang kepemilikan pribadi atas lahan.

“Ya, regulasi untuk penanggulangan tata ruang, jadi disitu adalah zona pengendalian ruang ketat, itu kurang, dari dulu tata ruang yang paling berat, paling tidak optimal adalah pada pengendalian tata ruang,” tukasnya.

Beberapa kendala pengawasan tata ruang adalah akibat faktor kepemilikan tanah hingga kekuasaan. Sedangkan untuk menekan pengambilan air tanah lebih masif, maka perusahaan air milik daerah (PDAM) harus menyediakan jaringan ke setiap wilayah pemukiman, atau dengan menyediakan lokasi yang dapat digunakan warga mengakses air secara umum. (sur)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin