Berita Bekasi Nomor Satu
Disway  

Menyambung Sulit

SUDAH jadi omongan umum: PLN kurang welcome pada investor green energy. Orang PLN sendiri mendengar omongan negatif seperti itu. Tapi apa hendak dikata: orang PLN lebih membela kelangsungan hidup PLN sendiri. Daripada membela investor.

Pada prinsipnya: setiap ada investor green energi (baca: solar cell) memang sama dengan menambah kesulitan PLN. Perusahaan listrik negara itu harus membeli listrik dari investor green energy dengan harga lebih mahal. Pun listriknya tidak bisa diandalkan. Tidak bisa untuk memenuhi beban puncak pemakaian listrik.

Kecuali kalau green energy itu berasal dari geotermal. Atau dari PLTA (air). Kalau dari dua sumber itu PLN pasti welcome.

Tapi, mana ada investor baru untuk geotermal. Investasi geotermal itu mahal sekali. Lebih mahal dari membangun PLTU. Bisa 150 persennya.

Apalagi lokasi geotermal yang ”gemuk-gemuk” sudah dikuasai Pertamina.

Untuk geotermal dan PLTA, PLN pasti welcome. Harga listriknya bisa lebih murah dari batu bara. Itu karena geotermal tidak memerlukan bahan bakar. Tidak perlu beli batu bara setiap hari. Bahan bakar geotermal adalah panas gratis dari magma gunung berapi.

Tapi PLN tidak boleh begitu. PLN itu milik negara. Yang harus tunduk pada keinginan pemerintah yang lagi berkuasa. Saat ini pemerintah lagi ingin: PLN harus bertransformasi ke green energy.

Tentu pemerintah tahu: listrik dari solar cell itu menyulitkan PLN –hanya menambah listrik di saat PLN kelebihan listrik (siang hari), tidak bisa menghasilkan listrik di saat PLN sangat memerlukannya (sore sampai malam hari).

Saya pun ikut berpikir keras dua hari ini: apa yang harus dilakukan agar keinginan pemerintah terpenuhi sekaligus tidak menyulitkan PLN.

Pertama, Pertamina harus cepat-cepat mengerjakan seluruh geotermal yang sudah dikuasainya. Pertamina memang sudah mengerjakan beberapa lokasi. Tapi masih ada yang belum. Dari yang belum itu Pertamina bisa menyumbang green energy sekitar 3.000 MW. Yang tentu akan menguntungkan negara, menguntungkan PLN, dan menguntungkan Pertamina sendiri.

Pertamina kelihatannya harus dipaksa untuk menyelesaikan semua geotermal itu. Kalau tidak ada dana, bisa merangkul investor.

Kedua, perlu dibangun biomass khusus terkait kelapa sawit. Yang ini tidak mudah –kecuali semua unsur dalam pemerintah bersatu. Mulai dari menteri perdagangan, menteri perindustrian, menteri ESDM, sampai yang terpenting menteri keuangan.

Siapa yang harus membangun puluhan pembangkit listrik biomass itu? Terserah. Bisa masing-masing perusahaan sawit. Mereka menjual listrik ke PLN. Bisa juga investor.

Kita ini punya berjuta-juta hektare kelapa sawit. Produksi minyak sawit kita sudah yang terbesar di dunia –53 juta ton setahun.

Tandan sawit bisa dikumpulkan: dijadikan bahan bakar biomass. Pelepah sawit juga bisa dikumpulkan: jadi bahan bakar biomass. Pohon-pohon yang tua bisa ditebang untuk bahan bakar biomass. Dan yang sexy: cangkang kelapa sawit –”tempurung”-nya sawit.

Cangkang itu mengandung kalori yang sangat tinggi. Bisa di atas rata-rata batu bara. Bagus sekali untuk dijadikan bahan bakar biomass.

Maka, teoritis, kita bisa punya sekitar 7.000 MW biomass dari sawit. Ditambah geotermalnya Pertamina yang baru, total bisa mencapai 10.000 MW.

Target pemerintah pun tercapai. PLN pun tidak dibuat sulit.

Ada tapinya.

Cangkang sawit yang sexy itu kini sudah jadi rebutan dunia. Cangkang sawit itu telah jadi komoditas ekspor tersendiri. Terutama diekspor ke Jepang. Atau Eropa.

Untuk apa di sana?

Sama: untuk bahan bakar juga.

Pun tandan sawit. Bisa laku: jadi bahan baku chip board.

Maka praktis hanya pelepah dan batang sawit yang belum laku.

Itulah yang saya maksud kekompakan tadi. Kementerian keuangan tentu senang kalau cangkang sawit itu bisa diekspor. Kita bisa mendapat devisa tambahan. Ekonomi makro kita lebih kuat. Cadangan devisa kita terus mencapai rekor. Neraca perdagangan kita kian positif.

Itu persis dengan persoalan ekspor minyak sawit kita. Ekonomi makro kita begitu bagus berkat harga ekspor sawit yang tinggi. Padahal ibu-ibu di dapur menjerit: harga minyak goreng melejit. Yang dulu Rp 15.000 sudah menjadi Rp 23.000.

Memang, ada yang aneh di ekspor cangkang itu. Kita ekspor cangkang ke Jepang sebagai bahan bakar. Sebaliknya kita impor LNG dari Jepang sebagai bahan bakar. Dengan harga mahal.

Tentu kita bisa mengurangi impor LNG kalau cangkang jutaan hektare itu bisa menghasilkan listrik di dalam negeri.

Intinya: ambisi pemerintah untuk mendapat green energy 10.000 MW bisa dicapai. Tanpa membuat PLN sulit.

Yang sulit kelihatannya mengoordinasikannya. Yang ekspor cangkang itu perusahaan sawit swasta. Yang impor LNG itu Pertamina.

Menyambungkan yang tidak nyambung itu yang sulit. Terutama bagi yang tidak mau bekerja keras. (Dahlan Iskan)

Solverwp- WordPress Theme and Plugin