Berita Bekasi Nomor Satu
Hukum  

Pakar Psikologi Forensik Bicara Soal Bripka Madih Ngaku Diperas Oknum Penyidik Soal Penyerobotan Tanah

Bripka Madih, provost di Polsek Jatinegara yang mengaku diperas oknum penyidik Rp 100 juta untuk menyelidiki kasus penyerobotan tanah milik orangtuanya. ISTIMEWA/RADAR BEKASI.

RADARBEKASI.ID, JAKARTA – Sebuah video seorang anggota polisi mengaku diperas oknum penyidik Polda Metro Jaya, terkait pelaporan kasus penyerobotan tanah, viral di media sosial.

Dalam video tersebut, terlihat seorang anggota polisi yang diketahui bernama Bripka Madih, mengungkapkan kekecewaannya saat melaporkan atas dugaan penyerobotan tanah orang tuanya, ke Polda Metro Jaya.

Ane ungkap, ane bongkar, ane buka….,” ucap Madih.

BACA JUGA: Berseragam Provost, Pria Ini Tuntut Lahan Orangtuanya di Komplek Perumahan di Jatisampurna, Sebut-Sebut Nama Kapolri Jenderal Listyo

”Karena, siapa yang paling mungkin mengetahui adanya penyimpangan oleh personel polisi, kalau bukan sesama personel polisi sendiri,” ucap Reza.

Menurut Reza, untuk menjadi whistleblower memang berat. Gambarannya, delapan puluhan persen orang menolak buka-bukaan tentang skandal internal karena takut akan adanya pembalasan. Baik serangan balik dari orang yang bikin skandal maupun pembalasan dari lembaga tempatnya bekerja.

”Untuk menemukan perbandingannya, coba cek data Propam Polri. Dari seluruh personel yang dijatuhi sanksi karena melakukan penyimpangan, berapa banyak yang kasusnya bermula dari laporan sesama personel Polri? Perkiraan saya, amat-sangat sedikit. Bahkan mungkin tidak ada,” papar Reza.

BACA JUGA: Viral, Provost Bripka Madih Diminta Penyidik Polda Metro Jaya Rp 100 Juta Selidiki Penyerobotan Tanah Orang Tuanya

Whistleblower, lanjut dia, juga acap dinarasikan sebagai pekerja yang buruk. ”Dia ungkap penyimpangan sebagai cara untuk menutup-nutupi kesalahannya,” tambah Reza.

Padahal, menurut dia, studi menemukan, kebanyakan whistleblower justru punya potensi kerja yang baik dan komitmen yang tinggi pada organisasi. Kelemahan mereka cuma satu yakni menolak ikut arus, menentang kode senyap, yang kadung marak di dalam organisasi.

”Kasus yang dilaporkan Bripka Madih, karena sudah meledak di medsos, boleh jadi besok akan tuntas tertangani. Tapi bagaimana dengan nasib Madih? Seberapa jauh dia sanggup terus bekerja sebagai personel polisi? Dan selama apa pula satuan wilayah masih betah mempertahankan duri dalam daging itu?” tutur Reza.

BACA JUGA: Provost Bripka Madih Bakal Dipertemukan dengan Penyidik yang Memintanya Menyetor Rp 100 Juta

Richard Eliezer banting setir menjadi justice collaborator. Madih nekad menjadi whistleblower. Bagaimana SDM Polri sepatutnya menyikapi mereka?

Menurut Reza, tanpa tes segala macam, Eliezer dan Mahdi sudah menunjukkan secara nyata tentang adanya personel polisi yang kendati berpangkat rendah, namun lebih mengedepankan ketaatan pada sumpah jabatan ketimbang kesetiakawanan pada subkultur menyimpang. Kedua, apa yang sesungguhnya tengah berlangsung pada organisasi kepolisian sampai-sampai ada personel yang buka suara sedemikian memalukan?

”Studi menemukan, perilaku whistleblowing berhubungan dengan tiga pola kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan transformasional yang mendorong anggota dan sistem untuk berubah. Kedua, kepemimpinan lassez-faire alias pasif, membiarkan, dan cenderung menghindari tanggung jawab. Ketiga, kepemimpinan otentik, pimpinan menjadikan dirinya sebagai role model atas segala nilai kebaikan yang ingin dia suburkan,” papar Reza.

BACA JUGA: Pengamat Ini Sebut Polisi ‘Peras’ Polisi Hal Lumrah di Polri

”Silakan Polri evaluasi sendiri, saat ini pola kepemimpinan apa yang sedang berlangsung di internalnya. Di situlah akan diperoleh jawaban mengapa Eliezer dan Madih tiba-tiba muncul meniup peluit mereka dengan senyaring-nyaringnya,” kata Reza. (jpc)

Solverwp- WordPress Theme and Plugin