Berita Bekasi Nomor Satu

Retribusi Nol Persen

 

HARI-hari ini medsos (media sosial) ramai soal retribusi batu bara nol persen. Kecurigaan terhadap UU Omnibus Law pun muncul. Jangan-jangan juragan besar batu bara yang akan bisa menikmati retribusi nol persen itu.

Masak sih sejahat itu? Saya pun mendalami latar belakang retribusi nol persen itu. Saya cari tahu dari mana asal-usulnya.

Terbaca oleh saya draf peraturan pemerintah yang terkait dengan retribusi batu bara nol persen itu. Yakni PP yang dirancang untuk menjabarkan UU Omnibus Law, khususnya pasal yang terkait dengan hilirisasi batu bara.

Kelihatannya diskusi publik soal ini akan panjang, khususnya mengenai siapa yang akan berhak mendapat fasilitas retribusi nol persen itu.

Lebih khusus lagi apakah akan banyak pembonceng yang ikut menikmatinya. Lebih-lebih di musim heboh ekspor benur lobster sekarang. Ternyata begitu banyak pemboncengnya.

Kalau drafnya sendiri bunyinya ideal sekali. Yaitu, untuk mendorong hilirisasi batu bara. Dengan demikian kita tidak hanya mampu ekspor batu bara. Draf ini bagus sekali. Sebagus bunyi peraturan ekspor benur lobster.

Sebagai negara penghasil utama sumberdaya alam (SDA) batu bara, Indonesia baru sampai pada tingkat bisa ekspor bahan mentah. Batu digali, dikapalkan, lalu diekspor.
Memang tidak mudah melakukan hilirisasi batu bara.

Untuk mengolah batu bara menjadi gas, misalnya, memerlukan investasi gajah bengkak. Orang perlu mesin-mesin yang besar, modern, dan canggih.

Proyek gasifikasi batu bara skala kecil terbukti belum ada yang berhasil. Saya pernah ke Pulau Kundur –di dekat Pulau Karimun nun jauh. Waktu itu saya dengar ada pengusaha setempat yang mencobanya. Begitu turun dari perahu, sudah tercium bau tar yang nyelekit. Bau busuknya sangat mengganggu penduduk.

Usaha gasifikasi ini gagal. Batu baranya sih berhasil diubah menjadi gas, tapi gasnya tidak cukup bersih. Gasnya tidak bisa dipakai untuk menggerakkan 12 genset yang berderet di situ. Genset-genset itu pun rusak.

Saya juga pernah ke Melak di pedalaman Kaltim (Kalimantan Timur). Di hulu Sungai Mahakam nan udik itu juga dicoba proyek mengubah batu bara menjadi gas. Maksudnya sama, untuk menghidupkan genset. Hasil listriknya amat ditunggu masyarakat Dayak sampai di pedesaan Barong Tongkok.

Usaha itu juga gagal. Keduanya menggunakan teknologi dari Tiongkok. Nasib yang sama juga dialami dengan penggunaan teknologi dari Jerman di Kalimantan Barat (Kalbar).

Rupanya mengubah batu bara menjadi gas harus berskala besar. Teknologinya harus canggih. Artinya, mahal.

Begitu mahal investasi gasifikasi itu, bisa-bisa gas yang dihasilkannya tidak lebih murah dari gas alam.

Gasifikasi yang direncanakan PT Bukit Asam di Sumsel (Sumatera Selatan)–kini di bawah Grup BUMN PT Inalum?–, misalnya, memerlukan investasi Rp42 triliun.

Untuk itu perusahaan tambang batu bara di Tanjung Enim tersebut menggandeng perusahaan gas raksasa dari Amerika Serikat yang berpusat di Pennsylvania. Nama perusahaan itu Air Products.

Maka kajian proyek gasifikasi memang harus mendalam, termasuk menentukan jenis gas apa yang ingin dihasilkan.

Kalau hanya diubah menjadi metana berarti hanya bisa untuk bahan bakar. Mau dialirkan ke mana? Tanjung Enim itu di pedalaman. Kita masih sangat lemah di bidang jaringan pipanisasi gas metana.

Memang ideal kalau gas metana itu dialirkan ke seluruh dapur emak-emak di kota-kota besar. Tapi jaringan pipanya tidak ada.

Maka seperti Bukit Asam memilih akan memproduksi DME –metana yang diolah—berarti diperlukan investasi tambahan lagi.

Negara sebenarnya sangat memerlukan DME ini. Sebab, ia bisa untuk menggantikan LPG. Penggunaan LPG terus melambung. Sampai-sampai 75 persennya harus diimpor.

Tapi dengan investasi Rp42 triliun bisa-bisa harga jual DME dua kali lebih mahal dari LPG.
Benar-benar tidak mudah. Bahkan sudah dicurigai akan menikmati royalti nol persen.

Selain Bukit Asam, tiga raksasa batu bara sebenarnya juga sudah tertarik ke proyek gasifikasi, yaitu Adaro, Kaltim Prima Coal, dan Arutmin. Mereka sudah melakukan studi bahkan sebelum ada UU Omnibus Law.

Sekarang ini dunia energi memang sedang di persimpangan jalan. Antara memilih energi lama dan baru.

Hilirisasi batu bara akan menghadapi kalkulasi bisnis yang rumit. Ada atau tidak ada retribusi nol persen.

Hilirisasi nikel kelihatannya di ambang sukses. Hilirisasi batu bara menjadi sangat menantang.

Jangan-jangan seperti ekspor benur lobster, yang serius malah rugi. Yang untung justru yang mampu memboncengnya. (*)

Solverwp- WordPress Theme and Plugin