Berita Bekasi Nomor Satu

Pembangunan Musala Berujung di Pengadilan

PERLIHATKAN SURAT: Sejumlah warga memperlihtakan surat gugatan dari pengembang terkait pembangun Musala di dalam klaster usai mengikuti persidangan di PN Cikarang, Kabupaten Bekasi. AND/RADAR BEKASI
PERLIHATKAN SURAT: Sejumlah warga memperlihtakan surat gugatan dari pengembang terkait pembangun Musala di dalam klaster usai mengikuti persidangan di PN Cikarang, Kabupaten Bekasi. AND/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Sidang gugatan pengembang terhadap warga Klaster Water Garden Grand Wisata terkai pembangunan Musala Al Muhajirin, kembali berlanjut. Kurang lebih satu bulan waktu yang diberikan hakim untuk mediasi kedua belah pihak perihal pembangunan mushola tersebut, namun tidak membuahkan hasil alias deadlock.

Sesuai jadwal, Rabu (24/2), warga kembali berbondong-bondong mendatangi Pengadilan Negeri (PN) Cikarang, Kabupaten Bekasi, mengikuti persidangan lanjutan dengan agenda pembacaan jawaban warga selaku tergugat.

Ketua Yayasan Al Muhajirin Klaster Water Garden, Perumahan Grand Wisata, Rahman Kholid, menyayangkan sikap PT Putra Alvita Pratama selaku pengembang yang dinilainya tidak konsisten dengan kesepakatan yang dicapai dalam pertemuan sebelumnya.

Dia menyampaikan, dalam pertemuan mediasi dua pekan lalu, pengembang telah sepakat warga boleh melanjutkan pembangunan Musala.

”Tetapi dalam mediasi terakhir, pengembang malah menyodorkan draf perjanjian untuk mengatur ritual ibadah. Musala nanti tidak boleh untuk Salat Jumat, juga azan tidak boleh pakai pengeras suara. Itu kan sudah intervensi,” ucap Rahman.

PT Putra Alvita Pratama menggugat warga dianggap melakukan wanprestasi, karena bidang tanah Musala Al Muhajirin yang sedang dibangun warga bukan untuk rumah ibadah. Sesuai Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) PPJB Nomor: 1000001477 tanggal 8 Juli 2015, tanah seharusnya untuk tempat tinggal.

Musala itu didirikan di atas lahan seluas 226 meter persegi yang dibeli warga dari pengembang pada 2015 seharga Rp1,6 miliar. Setelah menyicil selama beberapa tahun, tanah itu akhirnya lunas dan mulai dibangun musala.

“Tempat ibadah ini sangat kami butuhkan, mengingat jarak Masjid terdekat dengan rumah warga saja mencapai tiga kilometer. Sehingga kami berinisiatif membangun Musala dengan dana patungan,” terang Rahman usai mengikuti persidangan di PN Cikarang, Rabu (24/2).

Namun, dalam prosesnya, pembangunan musala itu justru disoal oleh pihak pengembang, karena dinilai menyalahi aturan. Sesuai perizinan-nya, tanah itu diperuntukkan sebagai rumah tinggal.

“Katanya izin lahan itu untuk rumah tinggal. Padahal dalam perjanjian jual beli dengan pengembang, penggunaan lahan itu dikuasakan pada pemilik, agar digunakan secara bertanggung jawab. Tapi ternyata dipersoalkan, hingga digugat, karena dinilai wanprestasi,” sesal Rahman.

Ia menjelaskan, sebenarnya warga tidak serta merta membangun Musala, melainkan harus mengurus perizinan, mulai dari persetujuan warga hingga mengurus ke Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi.

“Berdasarkan aturan, izin itu sebenarnya tinggal menunggu rekomendasi dari Dinas PUPR, seluruh persyaratannya telah dipenuhi, tapi pihak PUPR katanya minta harus ada persetujuan dari pengembang. Padahal dalam aturan-nya tidak harus. Ini yang juga jadi pertanyaan kami,” bebernya.

Lanjut Rahman, warga pun meladeni proses gugatan tersebut. Bahkan, warga siap memenuhi persyaratan yang diajukan pengembang selaku tergugat. Namun, dalam proses mediasi, tidak tercapai kemufakatan.

Disisi lain, persyaratan yang diajukan pengembang itu pun melenceng dari substansi gugatan soal wanprestasi. Pengembang dinilai malah mengintervensi kegiatan di mushola.

“Ini sudah masuk dalam ranah menghalangi ibadah dan mengintervensi akidah kami sebagai seorang muslim. Ini sebuah pelanggaran serius. Sebaliknya, tuduhan wanprestasi yang selama ini digadang-gadang sama sekali tidak disentuh dalam proses mediasi,” tegas Rahman.

Untuk itu, tambah Rahman, warga menilai gugatan itu tidak memenuhi unsur. Selain penggugat tidak fokus pada materi gugatan, pihak penggugat pun tidak pernah menghadirkan prinsipal. Padahal sesuai peraturan Mahkamah Agung (MA), bilamana selama mediasi pihak prinsipal tidak hadir, maka proses gugatan tidak bisa dilanjutkan.

“Ini setiap mediasi, sudah tiga sampai empat kali, prinsipal penggugatnya enggak pernah hadir. Malah mewakilkan pada karyawan-nya. Berarti proses gugatan tidak bisa dilanjutkan. Kemudian soal izin pun, sebenarnya kami sudah tempuh, jadi bukan tiba-tiba tanpa izin. Bahkan 95 persen warga klaster juga sudah menyetujui izin mushola ini, termasuk warga yang non muslim, tapi kenapa pengembang mempersoalkannya,” ucap Rahman heran.

Sementara itu, usai persidangan, pihak kuasa hukum penggugat dari PT Putra Alvita Pratama, enggan memberikan keterangan.

“Maaf ya, saya tidak bisa memberikan komentar. Intinya diarahkan untuk perdamaian saja,” jawab kuasa hukum PT Putra Alvita Pratama yang tidak mau menyebutkan namanya usai menghadiri persidangan. (and)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin