Berita Bekasi Nomor Satu

Mewujudkan Kesetaraan Gender di Indonesia

Dimas Indra Purwanto
Dimas Indra Purwanto (Badan Pusat Statistik, Statistisi Muda)

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Beberapa hari yang lalu, pada tanggal 8 Maret diperingati sebagai hari perempuan sedunia. Peringatan ini dipicu oleh gerakan perempuan di Amerika Serikat yang memprotes kondisi kerja mereka pada tahun 1908. Pada tahun ini, tema yang diangkat adalah #breakthebias atau secara sederhana dikenal dengan kesetaraan gender. Hal ini sesuai dengan target Sustainable Development Goals (SDG’s) yang diangkat oleh PBB pada poin ke-5 tentang kesetaraan gender. SDG’s sendiri merupakan agenda yang diangkat PBB untuk kehidupan yang lebih baik pada setiap orang dengan target waktu maksimal yang dicapai pada tahun 2030. Lalu, bagaimana kondisi kesetaraan gender di Indonesia?

Gambaran Umum Perempuan Indonesia
Berdasarkan data hasil Sensus Penduduk 2020, proporsi jumlah penduduk perempuan di Indonesia sebesar 49,42 persen atau 133,54 juta jiwa. Angka yang besar bagi para pemangku kebijakan untuk mewujudkan cita-cita kesetaraan gender yang merata.
Pada tahun 2021 Badan Pusat Statistik (BPS) merilis nilai Indeks Pembangunan Gender (IPG) Indonesia sebesar 91,27 poin atau meningkat 0,21 poin dibandingkan tahun sebelumnya. Nilai IPG ini disusun berdasarkan tiga dimensi yakni umur panjang dan sehat, pengetahuan, serta kehidupan yang layak. Sementara itu, Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Indonesia pada tahun 2020 naik 0,33 poin dari 75,24 poin menjadi 75,57 poin. Indeks ini disusun berdasarkan keterwakilan di parlemen, pengambilan keputusan, dan distribusi pendapatan.
Indikator-indikator ini mampu mencerminkan misi yang diusung oleh komunitas International Women’s Day (IWD) dengan misi membentuk budaya kerja yang inklusif di mana karir wanita berkembang dan prestasi mereka dirayakan. Indikator IPG dan IPG mampu menggambarkan capaian kesetaraan gender di Indonesia.
Kesetaraan gender tak hanya diukur secara nasional. Melalui IPG dan IDG daerah dapat dilihat ketimpangan capaian kesetaraan gender antar wilayah. Pada tahun 2021 nilai IPG terendah berada pada Provinsi Papua. Namun demikian, provinsi ini terus berbenah. Dilihat dari selisih nilainya, Provinsi Papua mempunyai selisih nilai absolut tertinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya dengan nilai IPG sebesar 73,93 poin pada tahun 2010 menjadi 80,16 pada tahun 2021. Hal yang mirip juga terjadi pada indikator IDG Provinsi Papua dengan selisih nilai yang besar sejak tahun 2010. Fenomena ini menunjukkan keinginan besar masyarakat dan pemangku kebijakan Papua dalam mewujudkan kesetaraan gender.

Ketimpangan Gender di Indonesia
Selain IPG dan IDG, BPS juga merilis Indeks Ketimpangan Gender (IKG) seiring dengan perkembangan United Nations Development Programme (UNDP) yang merilis angka Gender Inequality Index (GII). Dalam kaidah penghitungannya, IKG dan GII menggunakan indikator MMR (Maternal Mortality Rate), (ABR) Adolescence Birth Rate, keterwakilan parlemen, pendidikan, serta tingkat partisipasi angkatan kerja.
Pada tahun 2019, nilai GII Indonesia sebesar 0,480 dan menjadi yang tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Hal ini menunjukkan bahwa ketimpangan gender di Indonesia paling tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Bahkan nilai ini berada di atas rata-rata GII Asia Timur dan Pasifik serta rata-rata dunia. Secara global Indonesia menempati peringkat 121 dari 162 negara yang diukur.
Tingginya angka ketimpangan gender Indonesia tidak lepas dari tingginya angka MMR dan ABR. Bahkan nilai MMR Indonesia hanya lebih rendah dari Myanmar dan Laos serta ABR Indonesia labih rendah hanya dari Kamboja, Laos, dan Filipina. MMR dan ABR sendiri mencerminkan indikator kesehatan reproduksi Wanita dimana MMR merupakan adalah jumlah kematian ibu akibat dari proses kehamilan, persalinan dan paska persalinan per 100.000 kelahiran serta ABR merupakan jumlah kelahiran wanita usia 15-19 tahun per 1.000 wanita dalam kelompok usia tersebut.
Sebenarnya pemerintah selaku regulator dan pemangku kebijakan telah membuat peraturan melalui UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang usia minimal menikah yakni 19 tahun serta meningkatkan proporsi persalinan di fasilitas Kesehatan. Dari kebijakan tersebut, proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin atau berstatus hidup bersama sebelum umur 15 tahun mengalami penurunan dari 0,56 dan 0,57 pada 2018 dan 2019 menjadi 0,5 pada tahun 2020. Perbaikan yang sama juga terjadi pada indikator proporsi persalinan tidak di fasilitas kesehatan yang mengalami penurunan dari 0,173 dan 0,141 pada 2018 dan 2019 menjadi 0,121 pada tahun 2020. Seiring dengan membaiknya indikator tersebut, nilai IKG Indonesia menunjukkan perbaikan dari 0,436 pada tahun 2018 dan 0,421 pada tahun 2019 menjadi 0,400 pada tahun 2020.
Fakta bahwa tingginya ketimpangan gender di Indoesia bukan merupakan kabar baik bagi masyarakat. Namun demikian, usaha pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan kesetaraan gender yang digambarkan dengan penurunan angka kesetaraan gender yang kontinu harus diapresiasi mengingat tantangan yang harus dihadapi negeri ini lebih besar dibandingkan negara-negara lainnya.


Solverwp- WordPress Theme and Plugin