Oleh: Dahlan Iskan
KAPAN mimpi membangun pesantren Al-Zaytun ini bermula? Sewaktu sekolah di Gontor Ponorogo?
Itulah pertanyaan saya kepada Syekh Panji Gumilang. Jumat malam lalu. Yakni saat kami berdua semobil selama lebih satu jam menuju pesantrennya di pedalaman Indramayu.
Saya memang menduga demikian. Begitu banyak alumnus pondok modern Gontor yang membangun pesantren. Di daerah asal masing-masing. Mereka ingin mengadopsi sistem yang ada di Gontor. Yang mereka anggap sangat unggul.
Jawaban Syekh Panji justru mengejutkan saya. “Saya ini justru ingin mengoreksi Gontor,” katanya.
Panji enam tahun sekolah di Gontor. Tamat tahun 1966. Ia melihat dan merasakan terlalu banyak kekerasan di sana. Hukuman kepada siswa terlalu keras. Sampai ke pemukulan saat itu.
Penegakan disiplin memang sangat ketat di Gontor. Lokasi pondok Gontor di pedesaan. Nun di setengah jam di selatan Ponorogo.
Santri yang ketahuan berbicara tidak menggunakan bahasa Inggris atau Arab dihukum. Apalagi yang meninggalkan asrama. Atau mengambil barang teman seasrama.
Syekh Panji Gumilang pun menanamkan tekad: kalau kelak mendirikan pesantren tidak boleh ada kekerasan. Sedikit pun. “Di Al-Zaitun damai sekali,” katanya.
Masih ada lagi yang dikoreksi dari Gontor. Soal makanan santri. Ia menilai makanan untuk anak tingkat SMP-SMA di sana, kala itu, sangat tidak cukup. “Itu mengakibatkan siswa berbohong,” katanya.
Panji sendiri, waktu di sana, menjadi sering berbohong. Selesai salat Isya ia sering minta makanan ke dapur. Untuk dibawa ke asrama. Alasannya: untuk makan sahur. Besoknya akan berpuasa.
Ketika paginya ketahuan ikut sarapan, Panji ditegur: katanya puasa. “Maka saya berbohong lagi. Saya bilang lupa,” ujarnya.
Sejak itu tertanam dalam tekadnya: kelak, kalau membuat pesantren, santri harus cukup makan. Untuk bisa memberi cukup makan harus punya sumber makanan sendiri.
Di Al-Zaytun, santri mendapat sarapan pagi. Lalu dibekali kue yang cukup. Untuk dibawa ke kelas. Pukul 10.00, saat istirahat, santri makan kue itu: roti.
Siang hari santri mendapat makan siang. Lalu dibekali kue lagi. Dibawa ke kelas. Untuk dimakan saat istirahat sekitar jam 15.00. Malam hari dapat makan malam yang cukup. Nilai gizinya pun dihitung secara modern. Harus cukup gizi.
Kontrol kedisiplinan di Gontor memang ketat. Lewat struktur kepengurusan santri. Yang senior diberi wewenang untuk mengawasi yang junior. Mereka juga punya wewenang menjatuhkan hukuman bagi para pelanggar.
Pada saatnya Panji Gumilang menjadi senior di Gontor. Ia duduk di struktur kepengurusan santri. Ia pun bertekad selama setahun kepengurusannya tidak boleh terjadi satu pun kekerasan kepada junior.
Dari situ Panji Gumilang memang beda. Sejak remaja. Pun di tengah sistem yang keras.
Suatu saat santri mendapat pelajaran langsung dari pimpinan pondok Gontor: KH Zarkasyi. Kiai Gontor itu menjelaskan mengapa Gontor hanya menerima santri laki-laki. Waktu itu.
“Mengurus satu santri perempuan lebih sulit daripada 1.000 santri laki-laki,” ujar Panji menirukan kata-kata Kiai Zarkasyi.
Panji langsung ingin mengacungkan tangan. Ia ingin bertanya. Tapi temannya mencegahnya. Tidak sopan santri menyela pembicaraan kiai.
Tentu Panji ingin interupsi karena tidak akan ada tanya jawab setelah itu.
Meski usaha menyela itu gagal, Panji bertekad akan tetap mempertanyakan kata-kata kiainya itu. Pasti ada kesempatan lain. Kapan saja.
Ketika kesempatan itu tiba, Panji pun bertanya: bagaimana dengan nasib wanita di masa depan kalau mereka tidak bisa mendapat pendidikan.
Jawaban Kiai Zarkasyi membuatnya sangat lega: “Di masa kalian kelak sudah akan berbeda”.
Kalau pun jawaban kiainya tidak begitu, Panji bertekad, kalau bikin pesantren kelak, akan menerima santri wanita.
Gontor sendiri kemudian membangun pesantren khusus wanita. Besar sekali. Lebih 100 hektare. Di daerah Mantingan. Di pertengahan antara Ngawi dan Sragen. Kalau lewat tol, dari arah Solo ke Surabaya, exit-nya di Mantingan, setelah Sragen.
Sebenarnya Panji agak telat masuk Gontor. Setamat ibtidaiah (SD) di Dukun, ia tidak langsung ke Gontor. Dukun adalah satu desa di kecamatan Gresik. Status Gresik waktu itu memang kecamatan. Kabupatennya Surabaya. Seperti halnya Jombang, masih satu kecamatan juga di bawah kabupaten Surabaya.
Maka kalau Bung Karno ditulis dalam sejarah sebagai lahir di Surabaya itu tidak salah. Tentu orang Jombang kini bisa klaim Bung Karno lahir di Jombang.
Waktu itu orang tua Panji tidak langsung kirim anaknya ke Gontor. “Takut di Gontor tidak diajari membaca Quran dan kitab kuning,” kata Panji mengutip ayahnya.
Sang ayah adalah kepala desa di Dukun. Kakeknya pun kepala desa di situ. Pun buyutnya. Leluhur Panji pindah ke Dukun dari kampung aslinya di Pamekasan. Kini pun kepala desanya masih keponakannya.
Setelah tamat ibtidaiah, Panji dikirim ke pondok Peterongan, Jombang. Tidak kerasan. Lalu ke pondok di Kaliwungu, sebelah barat Semarang. Tidak kerasan. Pendaftaran siswa di Gontor sudah tutup. Maka Panji pun dimasukkan ke pondok Maskumambang, Gresik. Tidak kalah besar dari Peterongan. Juga tidak kalah terkenal.
Maskumambang dekat sekali dengan Dukun. Zaman itu keinginan masuk pondok haruslah pondok yang jauh. Kian jauh kian baik.
Setelah hampir setahun di Maskumambang barulah Panji dimasukkan ke Gontor.
Pun ketika tamat dari Gontor Panji dilarang meneruskan ke IAIN Jakarta. Terlalu jauh. Mahal. Tidak ada keluarga dekat. Dan yang penting: keadaan lagi tidak aman. Tahun 1966 Jakarta sangat kacau. Tegang. PKI baru saja dibubarkan. Bung Karno harus diturunkan.
Panji nekat ke Jakarta. Pun ketika tidak diberi uang oleh orang tua. Panji tahu cara dapat uang. Ia datang ke jaringan dagang ayahnya di Lamongan. Dagang hasil bumi.
Panji pun pinjam uang ke rekan dagang ayahnya itu. Senilai beras 1,5 kuintal. Ia tahu ayahnya pasti kirim hasil panen ke orang itu. Panji berterus terang: pinjaman itu sebagai siasat agar orang tuanya memberi uang untuk kuliah.
Sejak di Gontor, Panji sudah mendengar: begitu hebat IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta. IAIN Ciputat jadi buah bibir melebihi IAIN lainnya. Boleh dikata cita-cita santri Gontor umumnya ingin melanjutkan kuliah ke sana. Setidaknya ke IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Di UIN (sebelumnya IAIN) Ciputat itulah Panji bertemu banyak pemikir Islam. Terus berdiskusi dengan mereka. Ia ikut jadi aktivis. Ia jadi pengurus cabang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia ikut mengusung tokoh pembaruan pemikiran Islam Dr Nurcholish Madjid terpilih kembali menjadi ketua umum HMI. Nurcholish, sebagaimana Bung Karno, Gus Dur, Cak Nun, dan pelawak terkenal Srimulat Asmuni, adalah orang Jombang.
Ciputat sangat memengaruhi Panji. “Di Ciputat begitu banyak diskusi. Begitu banyak gagasan. Termasuk bagaimana harus membangun masa depan bangsa dan umat,” ujar Syekh Panji di dalam mobil itu.
Maka dari gabungan Gontor dan Ciputat lahirlah ide Al-Zaytun. Ditambah dengan perjalanan hidupnya yang lebih 10 tahun di luar negeri.
Pondok besar, sekolah besar, universitas besar melahirkan gagasan besar. Juga tindakan besar. Terutama di tangan orang yang isi kepalanya besar. (Dahlan Iskan)