Berita Bekasi Nomor Satu

PKS Tegas dan Konsisten Menolak RUU Cipta Kerja

Kabar itu datang tadi malam. Sekitar pukul 22.30 WIB. Atau kurang dari 2 jam jelang tengah tengah malam. F-PKS menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker).

Tak lama berselang, berita penolakan itu mulai tersebar. Foto rekan saya, Sekretaris F-PKS Ibu Ledia Hanifa Amalia terlihat sedang memberikan dokumen. Berisikan sikap penolakan kami pada pembahasan tingkat 1 (satu) di Badan Legislatif (Baleg) DPR RI.

Jujur, saya sungguh merinding melihat foto tersebut. Saya membayangkan beratnya perjuangan Ibu Ledia dan kawan-kawan kami di Baleg. Berbulan-bulan membahas RUU ini. Tak kenal waktu. Pagi, siang dan malam. Bahkan di saat kita sedang beristirahat, mereka berjuang. Memelototi pasal demi pasal. Dengan harapan tidak ada yang merugikan rakyat.

Saya juga membayangkan, betapa tidak mudahnya Ibu Ledia dan rekan-rekan saya berikhtiar. Mereka dikepung oleh kekuatan yang pro terhadap RUU ini.

Lihat saja hasil pembahasan tingkat 1 di Baleg DPR RI, malam tadi.

Fraks yang setuju ada 6 atau 69.79 persen. Yakni:

1). PDIP; (2) Golkar; (3) Gerindra; (4) Nasdem; (5) PKB; dan (6)PAN.

Fraksi yang menolak hanya 2 atau setara 15.98 persen. Yakni:

(1) PKS dan (2) Demokrat.

Alhamdulillah, sikap PKS konsisten sejak awal. Menolak RUU ini. Dan secara tegas kami memposisikan diri bersama rakyat. Sebab RUU ini sangat merugikan rakyat banyak. Juga bangsa dan negara.

Apa alasan kami?

Fraksi PKS menyatakan arah dan jangkauan pengaturan dari RUU Cipta Kerja telah berdampak terhadap lebih dari 78 undang-undang.

“Fraksi Partai Keadilan Sejahtera menyadari bahwa substansi pengaturan yang terdapat dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja memiliki implikasi yang luas terhadap praktek kenegaraan dan pemerintahan di Indonesia sehingga diperlukan pertimbangan yang mendalam apakah aspek formil dan materil dari undang-undang tersebut sejalan dengan koridor politik hukum kebangsaan yang kita sepakati bersama,” papar Ibu Ledia.

Ditambahkan, ada beberapa catatan Fraksi PKS DPR RI. Pertama, memandang pembahasan  RUU Cipta Kerja pada masa pandemic Covid 19 ini menyebabkan terbatasnya akses dan partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan, koreksi dan penyempurnaan.

Kedua, banyaknya materi dalam RUU ini semestinya disikapi dengan kecermatan dan kehati-hatian. Pembahasan DIM yang tidak runtut dalam waktu yang pendek menyebabkan ketidak optimalan dalam pembahasan. Padahal Undang-undang ini akan memberikan dampak luas bagi banyak orang, bagi bangsa ini.

Ketiga,  RUU Cipta Kerja ini  tidak tepat membaca situasi, tidak akurat dalam diagnosis, dan tidak pas dalam menyusun resep. Meski yang sering disebut adalah soal investasi, pada kenyataannya persoalan yang hendak diatur dalam Omnibus Law bukanlah masalah-masalah utama yang selama ini menjadi penghambat investasi.

Contoh ketidak tepatan ini  adalah formulasi pemberian pesangon yang tidak didasarkan atas analisa yang komprehensif. Hanya melihat pada aspek ketidakberdayaan pengusaha tanpa melihat rata-rata lama masa kerja pekerja yang di PHK. Sehingga nilai maksimal pesangon itu semestinya tidak menjadi momok bagi pengusaha.

Keempat, secara substansi sejumlah ketentuan dalam RUU Cipta Kerja masih memuat substansi yang bertentangan dengan politik hukum kebangsaan yang kita sepakati pasca amandemen konstitusi. Ketentuan-ketentuan yang ditolak dalam RUU Cipta Kerja adalah

Ancaman terhadap kedaulatan negara melakui pemberian kemudahan kepada pihak asing. Termasuk juga ancaman terhadap kedaulatan pangan kita RUU Cipta Kerja memuat substansi pengaturan yang berpotensi menimbulkan kerugian terhap tenaga kerja atau buruh, melaui perubahan beberapa ketentuan yang lebih menguntungkan pengusaha. Terutama pada pengaturan tentang kontrak kerja, upah dan pesangon.

Kelima, RUU Cipta Kerja, memuat pengaturan yang berpotensi menimbulkan kerusakan terhadap kelestarian lingkungan hidup. Dalam pasal 37 RUU Cipta Kerja terkait perubahan UU Kehutanan, ketentuan penyediaan luas minimum 30 persen untuk fungsi kawasan hutan dari Daerah Aliran Sungai (DAS) dihapus.

RUU Cipta Kerja memberikan kewenangan yang sangat besar bagi Pemerintah, namun kewenangan tersebut tidak diimbangi dengan menciptakan sistem pangawasan dan pengendalian terhadap penegakan hukum administratifnya. Seyognyanya, apabila pemerintah bermaksud untuk mempermudah perizinan, maka sistem pengenaan sanksinya harus lebih ketat dengan mengembangkan sistem peradilan administrasi yang modern.

Jangan biarkan Ibu Pertiwi dan rakyat menangis dengan hadirnya RUU ini…(*)