Berita Bekasi Nomor Satu
Opini  

Menakar Kampanye Kesadaran Publik Soal Informasi Palsu Era Rezim Joko Wìdodo

Muhammad Hanif Ilyasa.

Oleh: Muhammad Hanif Ilyasa

Pemerintahan saat rezim Presiden Joko Widodo memimpin gencar sekali mengampanyekan gerakan antihoaks. Terutama terkait informasi yang menyasar  keluarga istana.

Kasus teranyar, beberapa bulan jelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil Pilpres 2024, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Publik, terutama warganet, menyoroti sebuah akun fufufafa di sebuah situs online. Akun tersebut disinyalir keras milik salah satu putra Joko Widodo yang diduga menyerang secara personal lawan politik Joko Widodo saat Pilpres 2014.

Dugaan warganet bahwa akun fufufafa itu disinyalir milik Gibran bin Jokowi, coba dibongkar lewat gerakan “donasi” Rp10 ribu ke akun platform pembayaran digital. Walhasil, nama  yang diduga pemilik akun fufufafa dalam situs online ditengarai ada kesamaan dengan pemilik akun di platform pembayaran digital dalam gerakan “donasi” Rp 10 ribu tersebut. Belakangan, akun tersebut berganti nama jadi “Slamet”.

Dalam kasus ini, Menkominfo Budi Arie Setiadi kala itu, pasang bàdan. Kepada media, Budi Arie Setiadi memastikan akun fufufafa bukan akun milik Gibran Rakabuming Raka. Namun, Budi Arie juga tidak dapat memastikan siapa pemilik sebenarnya akun fufufafa, bila itu bukan akun Gibran Bin Jokowi. Silakan baca di https://www.google.com/amp/s/bisnis.tempo.co/amp/1915375/kominfo-klaim-akun-fufufafa-bukan-milik-gibran-budi-arie-lagi-ditelusuri/ Kamis, 12 September 2024

Alih-alih menjawab rasa penasaran publik warganet tentang siapa sesungguhnya akun fufufafa, Menteri Budi Arie seolah mengalihkan isu dengan kampanye kesadaran publik untuk mengurangi penyebaran informasi yang salah.

Perkara lain, saat kasus peretasan Pusat Data Nasional (PDN) beberapa waktu lalu, Budi Arie memilih mengajak masyarakat untuk memastikan informasi yang mereka dapatkan benar. Tanpa mengajukan proses hukum terhadap para pelaku peretasan PDN.

Budi Arie kala itu menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen untuk memastikan masyarakat mendapatkan informasi yang benar. Silakan baca https://nasional.kompas.com/read/2024/06/27/17585061/budi-arie-beberkan-kronologi-serangan-siber-ke-pdn-yang-bikin-layanan-lumpuh/ 27/Juni/2024. Ini tentu langkah yang baik, tetapi kenyataannya, pelaksanaannya belum sepenuhnya merata.

Di kota-kota besar, kampanye ini memang mendapatkan perhatian lebih, terutama karena akses yang luas terhadap media sosial dan digital. Namun, bagaimana dengan masyarakat di daerah terpencil? Mereka yang tinggal di wilayah dengan akses informasi terbatas sering kali menjadi korban informasi yang tidak akurat atau hoaks.

Dalam laporan yang diterbitkan https://news.detik.com/berita/d-5692372/survei-litbang-kompas-baliho-politik-dianggap-nggak-ngaruh/ pada 23/Agustus/2024, disebutkan bahwa masyarakat perkotaan cenderung lebih mudah menerima pesan-pesan semacam ini karena terbiasa dengan teknologi. Sebaliknya, masyarakat di pedesaan, kampanye semacam ini sering tidak tersampaikan dengan baik.

Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah ajakan pemerintah benar-benar diterima seluruh masyarakat? Apa yang dapat dilakukan untuk membuat pesan ini lebih inklusif dan merata?

Menurut saya, masalahnya terletak pada pendekatan komunikasi pemerintah. Tidak cukup hanya menggunakan media sosial atau kampanye di media massa.

Jika pemerintah ingin serius dalam memerangi hoaks, mereka harus terjun langsung ke masyarakat, terutama di daerah-daerah yang lebih sulit dijangkau.

Kerja sama dengan tokoh masyarakat lokal, pemimpin agama, atau pemimpin adat dapat menjadi kunci untuk menyebarkan informasi yang lebih efektif.

Saya juga melihat bahwa kepercayaan publik menjadi tantangan besar. Sebagian masyarakat masih merasa skeptis terhadap ajakan pemerintah, terutama mereka yang menganggap hal ini sebagai bentuk kontrol terhadap informasi.

Padahal, jika dilihat dari sisi positif, ini adalah upaya pemerintah untuk melindungi masyarakat dari bahaya informasi palsu atau bohong.

Untuk membangun kepercayaan ini, pemerintah harus memberi contoh dengan transparan dalam menyampaikan informasi. Masyarakat yang melihat bahwa pemerintah konsisten dengan faktanya tentu akan lebih mudah menerima pesan kampanye ini.

Selain itu, edukasi literasi digital perlu menjadi prioritas, terutama di kalangan muda dan di lingkungan pendidikan. Pengajaran tentang cara mengenali informasi palsu, memverifikasi sumber informasi, dan menggunakan teknologi dengan bijak akan membantu masyarakat lebih siap menghadapi arus informasi yang semakin deras.

Singkatnya, kampanye kesadaran publik ini sebenarnya sudah berjalan dengan baik, tapi butuh penyempurnaan dalam hal jangkauan dan pendekatan.

Saya yakin, jika pemerintah lebih proaktif bekerja sama dengan masyarakat dan memperkuat edukasi literasi digital, ajakan untuk tidak menerima informasi yang salah akan lebih mudah diterima oleh semua lapisan masyarakat.

(Penulis, Muhammad Hanif Ilyasa, Mahasiswa Politeknik Pekerjaan Umum, Tinggal di Kota Semarang)