Berita Bekasi Nomor Satu

Waspadalah Terhadap Riya!

Radarbekasi.id – JANGAN siksa diri Anda dengan mencari-cari masalah untuk diperbincangkan dan dibesar-besarkan, sehingga menyebabkan pusing dan mumet.
Jika Anda menghadapi orang pelit dan suka menggunjing, tetaplah baik dengannya. Larilah dari keadaan itu dengan cara yang baik dan tidak melukai orang lain.
Ketahuilah, keimanan tidak akan kukuh dan mengakar di hati seorang muslim, kecuali dia menjadi manusia yang baik, menghindari egoisme, rasa dendam, kebencian, dan kedengkian. Dia selalu menghendaki kebaikan dan kebahagiaan untuk orang lain sebagaimana dia menginginkan kebaikan dan kebahagiaan itu untuk dirinya.

Barang siapa hidup untuk orang lain, pasti melelahkan. Tapi, dia hidup menjadi orang besar dan mati pun menjadi orang besar.
Banyak orang berumur panjang, tapi manfaatnya kurang. Banyak orang berumur singkat, tapi padat manfaat.

Pada tulisan ini, mari kita membuka sejarah beliau, Imam Syafi’i bin Idris ra. Beliau lahir di Gaza, Palestina, tahun 150 H dan wafat di Fustat, Mesir, pada 204 H. Beliau merupakan seorang mufti besar dan pendiri mazhab Syafi’i. Imam Syafi’i juga tergolong kerabat Rasulullah. Dia termasuk Bani Muththalib, yaitu keturunan Al Muththalib, saudara Hasyim, yang merupakan kakek Rasulullah SAW.
Mari kita letakkan segala sesuatu pada tempat yang selayaknya dan kerjakanlah segala sesuatu pada waktunya.

Ketahuilah, seorang hamba dibangkitkan dalam keadaan bagaimana dia mati. Karena itu, janganlah engkau mati kecuali dalam keadaan muslim.
Sejalan dengan pesan suci Alquran, ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (QS Ali Imran: 102).”
Jika kita mau berpikir dengan cerdas dan objektif, kita akan menemukan realitas yang ada saat ini, yaitu alangkah sedikitnya manusia yang bekerja dengan ikhlas karena Allah SWT. Sebagian besar justru menginginkan ibadahnya diketahui manusia.

Seorang ulama dari kalangan tabiin, Sufyan Ats-Tsauri, berkata, ”Apa yang aku lakukan dengan terang-terangan tak pernah aku anggap sebagai amalku, karena kebanyakan orang saleh sebelumku selalu menyembunyikan amal-amalnya.”
Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian (QS Al Baqarah: 264).”
Rasulullah SAW bersabda, ”Yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah, apakah syirik kecil itu?” Beliau menjawab, ”Yaitu riya (HR Ahmad).”

Syirik merupakan penyakit yang berbahaya bagi manusia. Sebab, syirik adalah menyifati ketuhanan pada sesuatu yang tidak berhak menerimanya dan menyembah pada sesuatu yang tidak pantas disembah. Misalnya, menuhankan batu, gunung, pohon, manusia, dan sebagainya.

Pada hadis itu, yang harus diwaspadai setiap muslim adalah syirik kecil, yaitu riya. Riya adalah beramal bukan karena Allah, tapi karena ingin mendapat pujian sesama manusia. Perlu diketahui, riya sangat berbahaya karena merupakan pengkhianatan atas dirinya sendiri dan umat, membinasakan dirinya di dunia maupun di akhirat.

Sering saya katakan dalam berbagai kesempatan, amal tak akan gagal bila disertai niat yang ikhlas. Puncak keikhlasan adalah sebuah kesadaran bahwa diri kita ini tidak mempunyai kekuatan dan kemampuan apa pun tanpa izin dan pertolongan Allah.
Seorang wali besar pada zamannya, Ibnu Athaillah As-Sakandari radhiyallahu ‘ahu berkata, ”Amal itu kerangka yang mati dan ruhnya ialah keikhlasan yang ada padanya.”

Seorang wali besar, Fudhail bin Iyadh, menafsirkan firman Allah surah Al Mulk ayat 2, ”Untuk menguji siapa dari kalian yang paling bagus amalnya,” berarti sebagai yang paling ikhlas dan benar amalnya.
Dia mengatakan, kalaupun amal dilakukan dengan ikhlas, tapi tidak benar, tidaklah diterima; dan kalaupun dilakukan dengan benar, tapi tidak ikhlas, tidaklah diterima. Yang diterima adalah yang dilakukan dengan ikhlas dan benar sekaligus. Ikhlas berarti dilakukan karena Allah. Benar berarti dilakukan berdasar sunah Nabi.

Cara Pengobatan Riya
Penyakit riya dapat menghancurkan pahala seseorang dan merupakan sebab datangnya kemurkaan Allah. Riya juga merupakan salah satu perbuatan dosa besar. Maka, seorang muslim harus berusaha menghilangkan penyakit itu dari dalam hatinya. Sebagaimana halnya dengan orang yang ingin sembuh dari penyakit yang diderita, dia harus berani minum obat bagaimanapun pahitnya. Untuk penyembuhannya, terdapat dua tingkat.

Pertama, melepaskan sampai ke akar-akarnya. Kedua, mencegah akibat-akibat buruk yang muncul dari penyakit riya ketika melakukan ibadah.
Tingkat pertama melepaskan penyakit riya sampai ke akar-akarnya. Akar penyakit riya adalah cinta kedudukan dan jabatan. Jika diuraikan menjadi tiga macam, yaitu senang mendapat pujian, takut mendapat ejekan, dan rakus terhadap apa yang dimiliki orang lain.

Sahabat Abu Musa Al Asy’ari ra menceritakan, pada suatu hari seorang Badui bertanya kepada Rasulullah SAW, ”Wahai Rasulullah SAW, bagaimana seorang yang berperang untuk mendapatkan harta rampasan? Bagaimana seorang yang berperang untuk mendapatkan pujian orang lain? Bagaimana seorang yang berperang untuk mendapatkan kedudukan?” Kemudian, Rasulullah SAW menjawab, ”Barang siapa yang berperang semata-mata untuk menegakkan kalimat Allah, ia berjalan di jalan Allah (muttafaq ‘alaih).”

Dalam kesempatan lain, beliau Rasulullah SAW juga bersabda, ”Barang siapa yang berperang di jalan Allah hanya untuk mendapatkan harta rampasan, maka ia mendapatkan apa yang diniatkan (HR An-Nasa’i).”

Itu merupakan peringatan bagi orang yang tamak kepada harta dunia. Terkadang seseorang tidak tamak kepada harta atau tidak senang mendapatkan pujian, akan tetapi takut mendapat ejekan dari orang lain seperti dikatakan kikir sehingga bersedekah walaupun cuma sedikit. Atau seorang yang selalu melakukan salat sunah di malam hari karena takut dikatakan sebagai pemalas. Orang seperti itu tidak tamak dan tidak haus pujian, melainkan takut mendapat ejekan dari orang lain. Karena terkadang seorang bisa sabar untuk tidak mendapat pujian dari orang lain, tetapi tidak sabar jika mendapat ejekan. Karena itu, sebab-sebab tersebut, yaitu haus pujian, takut ejekan, dan tamak, merupakan akar penyakit riya.
Semoga kita semua diselamatkan Allah dari penyakit riya. Aamiin (*)

Pengasuh Pesantren Progresif Bumi Shalawat, Sidoarjo, Jatim (@gusali_bsh)

Solverwp- WordPress Theme and Plugin