Berita Bekasi Nomor Satu

Realitas Sosial Kelompok Mayoritas, “Rakus dan Gila” Kekuasaan

Radarbekasi.id – Di awal, penulis akan membawakan prolog terlebih dahulu. Singkatnya, ketika individu yang saya signifikan sebagai manusia memiliki sifat “peka” yang kuat terhadap sesama bahkan mahkluk lain disekitarnya. Sebut saja manusia sebagai Makhluk Sosial.

Mengapa demikian, secara teori dalam pelajaran sosiologi manusia membutuhkan manusia lainnya dalam bertahan hidup maupun sebagai wadah berinteraksi. Kehadiran manusia lainnya dapat mengantarkan manusia untuk hidup berdampingan, terdapat pola dan struktur kehidupan.

Dari sekian banyaknya manusia, mereka saling memiliki perbedaan yang biasa disebut dengan kemajemukan, perbedaan tersebut merambah pada keberagaman pola pikir, etika sosial, maupun tatanan kehidupan.

Dari sekian banyak keberagaman, manusia dituntut untuk dapat hidup rukun, tertib, dan saling menghargai titik-titik perbedaan. Dinamika sosial yang menyebabkan kehidupan penuh “warna” ini harus didukung oleh kesetaraan dan nilai toleransi, agar apa yang diharapkan oleh mayoritas manusia yaitu hidup aman, nyaman dan sejahtera dapat tercapai, maka perlu ditanamkan kesadaran dari diri masing-masing.

Tujuannya menurut mereka, untuk menjaga keharmonisan dan keteraturan yang ada, jangan sampai egosektoral, stereotipe, dan diskriminasi terus melingkari kehidupan modern ini.
Namun dari sekian banyak teori yang saya temukan mengenai keharmonisan hidup bermasyarakat, itu semua hanya sebatas utopia belaka. Mengapa demikian, sebab sampai saat ini saya lihat gengsi sosial masih melekat pada kehidupan hari ini.

Jika saya boleh berargumen lebih luas lagi, setiap individu (manusia) membentuk suatu kelompok sosial atas beberapa kesamaan. Setiap manusia membutuhkan kelompoknya untuk bersosialisasi, meskipun kadang kita mengetahui ada beberapa orang yang cenderung menjauhi lingkaran sosial tersebut dengan sebab kepribadiannya yang introvert. Ada juga manusia yang egonya begitu tinggi melebihi tinggi “Tugu Monas” sehingga merasa lebih segalanya.

Ya, kehidupan seperti itu kerap kita jumpai pada kehidupan masyarakat perkotaan (patembayan). Mereka biasa dikatakan sebagai makhluk individualistik, Tetapi, itu semua kembali pada perilaku personal, tidak bisa kita memukul ratakan. Ada yang nyaman hidup sendiri tanpa keramaian, adapula yang bahagia jika hidupnya penuh sosialisasi dengan teman atau kerabat.

Kembali pada pokok persoalan, manusia membentuk kelompok, lalu dalam setiap kelompok yang beragam masing-masing dari mereka membuat ciri atau identitasnya sendiri. Banyaknya kelompok bisa kita lihat pada kehidupan hari ini, setiap orang berlomba mendirikan dan membentuk wadah atas dasar kesamaan.

Yang dikhawatirkan dan kerap menganggu adalah kelompok yang suka mengatasnamakan “kebenaran mutlak” yang tidak terlepas dari hasil sudut padang mereka sendiri.

Kelompok-kelompok radikal tersebut menciptakan dikotomi didalam masyarakat serta memberikan “pelabelan” terhadap kelompok lainnya dengan sangat mudah.

Hal yang patut kita “apresiasi” dari kesalahan berpikir mereka bahwa mereka telah melabelkan diri sebagai “Tuhan” kepada kelompok masyarakat lain. Seolah setiap kebenaran dan keberadaan alam semesta adalah ciptaan mereka. Sehingga dengan “keakuan” yang kuat sulit mencapai hidup harmonis dambaan sebagian besar masyarakat.

Apa sih yang menyebabkan mereka menjadi “gila nilai kebenaran”, tentunya adalah sebuah penghargaan dan eksistensi. Dengan setiap individu (manusia) atau kelompok lainnya melihat eksistensi mereka akan membuat dirinya terpandang.

Jika melihat pada sudut pandang kajian Postmodern, eksistensi nilai atau tatanan suatu kelompok akan merambah pada unsur royalti. Oleh sebab itu, kelompok yang merasa paling benar seperti disisi “keyakinan dan tatanan hidup” akan mendapat keuntungan. Keuntungan yang diperoleh yang “katanya” akan meningkatkan taraf atau derajat seseorang dan kelompoknya.

Selain mencari jati diri sekaligus royalti, mereka berpeluang mendapatkan “kekuasaan”. Kok bisa? Bagaimana tidak, mind mapping yang tepat, kreatif dan inovatif serta berorientasi pada konsep strategi yang mengacu pada “kapitalisme” membuat seseorang hidup demi mencari keuntungan (harta, dan takhta).

Mereka tidak mempedulikan manusia atau kelompok lainnya, yang penting hidup mereka terjamin, bermutu. Berbicara realitas sosial yang ada, tak mampu melepaskan unsur “kapitalisme”, manusia atau kelompok yang hidup pada pedoman itu, selalu berambisi menguasai, merampas, dan menjajah kemerdekaan dan hak setiap orang (kolonialisasi).

Labilnya kelompok mayoritas
Apa yang kalian ketahui tentang kelompok mayoritas? atau mengapa didunia ini pasti ada kelompok penguasa yang selalu memprioritaskan kepentingan kelompoknya dibandingkan kepentingan bersama? Hal ini berkaitan dengan “menunggangi”, setiap kelompok yang menjadi mayoritas dan penguasa memiliki beban moril. Sehingga mereka tunduk pada kelompoknya atas dasar ikatan bersama (solidaritas).

Kelompok mayoritas maupun penguasa akan menjaga peran dan posisinya untuk melayani kebutuhan anggota kelompoknya. Dasar itu, membuat mereka lupa akan kepentingan bersama,. dengan kata lain kesetaraan dan keadilan hanya angan belaka. Pemimpin yang berkuasa mendapatkan posisinya diawali dengan legitimasi dari kelompoknya.

Pemimpin tersebut tidak lupa membalas jasa atau balas budi kepada tim pendukung. Sebenarnya hal seperti ini tidak jadi masalah selama dia bisa membedakan tentang aspek prioritasnya dalam menjalankan kepemimpinannya. Namun yang menjadi perkara, standar pada penentuan aspek prioritas belum jelas, masih bersifat subjektif.

Pokok persoalan lainnya yang kerap terjadi adalah adannya “menghalalkan” beragam cara untuk mempertahankan kekuasaannya. Contohnya, ada suatu kelompok yang menjadi penguasa, kelompok ini membuat peraturan yang semestinya indahkan oleh setiap kelompok dalam naungan kekuasaannya termasuk kelompoknya tersebut sebagai kelompok yang mendapat predikat upper class.

Pada kenyataannnya sangatlah miris, mereka melanggar kesepakatan dari aturan tersebut dan ketika digugat mereka akan beralibi dengan ragam alasan yang tak jelas. Fakta, yang tak dapat dibantah. Pelanggaran dari kelompok penguasa yang sering terjadi, mereka hanya tidak ingin kekuasaannya digantikan.

Dengan demikian, dapat kita lihat bahwa kearifan dan kebijaksanaan sebagai pemimpin atau penguasa masih minim. Perlu adanya evaluasi total terkait sistem pemerintahannya. Memang hal tersebut tidak jauh dari unsur politis tapi ada baiknya mereka tidak menjadi penguasa “munafik”.

Lalu ada lagi, dinamika kaum proletar dan borjuis, mungkin sebagian pembaca telah mengetahui hal tersebut. Saya akan berbicara pada realitas sosial kembali, kalian sadar tidak, setiap penguasa (borjuis) selalu mendapat kritik dari kaum oposisi yang tidak lain adalah proletar. Kaum proletar memberikan kritik radikal, konstruktif dengan beragam pandangan.

Namun apa kalian tahu, ketika kaum proletar ini telah berhasil mendudukan kekuasaan (jadi borjuis atau penguasa) dan memenangkan kompetisi, mereka melakukan hal sebaliknya.

Apa yang mereka perjuangkan dan kritik, mereka cerca dan jadikan omong kosong. Mereka mudah lupa dengan apa yang menjadi tuntutan terdahulu, sehingga mereka biasa disebut dengan “memakan omongan” sendiri.

Kemudian berbalik kaum yang menjadi borjuis diawal dan sekarang mereka menjadi kaum proletar, menuntut hal yang dahulu kaum atau kelompok proletar lainnya tuntut. Padahal secara logika, mereka tidak perlu menuntut apapun, cukup melihat dan menyadari kinerjanya dahulu saat menjadi penguasa.

Roda kehidupan selalu berputar, hidup itu dinamis. Rentan akan perubahan signifukan pola, struktural, dan perspektif. Sehingga apa yang dahulu diyakini benar belum tentu abadi, dalam kenyataan mereka akan berubah dan menjadi berbeda dengan sebelumnya.

Penulis menuangkan argumen melihat dari setiap kelompok sosial, kepemimpinan, dan lembaga mulai dari tingkatan yang paling bawah sampai atas, seolah julukan kaum Proletariat hanya menggantikan posisi diatasnya saja. Tidak ada peningkatan dalam kinerja, apa yang dahulu dituntut tak akan abadi, bisa berubah dan berbeda dikemudian hari.

Terlepas dari ciri manusia yang tidak sempurna, memiliki kekurangan dan kesalahan seharusnya kaum proletar dan borjuis dapat belajar dan konsisten atas apa yang dipegangnya. Memang faktor hidup yang dinamis dan ketidaksempurnaan manusia masih hinggap mewarnai pandangan kita terhadap kelompok mayoritas dan penguasa.

Kita perlu menyadari kapasitas diri. Maka dari itu, ketika memberikan tuntutan atau kritik melihat kemampuan diri sendiri adalah hal utama. Jangan sampai mencela individu atau kelompok lain, namun dirinya sendiri melakukan hal yang dia kritisi dan tuntut. (*)

Sedang menempuh pendidikan Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang. Tinggal di Kota Bekasi.

Solverwp- WordPress Theme and Plugin