Berita Bekasi Nomor Satu

Nelayan Kecil Terganggu Kapal Besar

ASIK BERBINCANG : Penjabat (Pj) Bupati Bekasi, Dani Ramdan, asik berbincang dengan perwakilan nelayan, di Desa Pantai Bakti, Muaragembong, Kabupaten Bekasi, Rabu (20/7). ARIESANT/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Sejumlah nelayan mengeluhkan banyaknya kapal besar yang menangkap ikan menggunakan pukat harimau di perairan Muaragembong, Kabupaten Bekasi. Akibatnya, terumbu karang menjadi rusak.

Para nelayan yang tergabung dalam paguyuban Nelayan Muaragembong ini, memanfaatkan kehadiran Penjabat (Pj) Bupati Bekasi, Dani Ramdan, untuk menyampaikan aspirasi mereka.

Keberadaan kapal besar itu sudah terjadi sejak beberapa tahun terakhir. Tidak hanya satu, nelayan juga menyebut ada lebih dari 50 kapal besar yang setiap hari berjejer di perairan dangkal Muaragembong.

“Kalau satu kapal, mungkin tidak pengaruh. Tapi ini bisa mencapai 50 kapal setiap harinya,” ujar salah satu nelayan, Bada (40), saat berbincang dengan Pj Bupati Bekasi, Dani Ramdan, di Pantai Bungin, Desa Pantai Bakti, Rabu (20/7).

Ia menjelaskan, kapal-kapal besar itu biasanya memasuki perairan Muaragembong pada malam hingga siang hari. Tidak jarang, mereka masuk perairan dangkal yang menjadi tempat nelayan mencari ikan.

“Bayangin saja, itu kapal-kapal bersandar dekat pantai. Itu bisa jarak lima kilometer dari pantai, berarti kan sekitar tiga mil. Bahkan pernah sampai dua kilometer dari pantai,” terang Bada.

Akibat banyaknya kapal besar tersebut, para nelayan terpaksa mencari titik lain untuk mengambil ikan. Beberapa nelayan terpaksa melaut lebih jauh agar bisa mendapat ikan.

“Jadi, kami hanya dapat ikan sisa-sisa dari kapal besar tersebut,” ucapnya.

Hal senada disampaikan nelayan lain, Suharto (45), sejak adanya kapal-kapal besar yang menangkap ikan menggunakan pukat harimau, pendapatan nelayan turun drastis. Sekali melaut, dia hanya bisa mendapat ikan sekitar 10-20 kilogram. Padahal, biasanya mereka bisa dapat hingga satu kuintal per kapal dalam sekali melaut.

“Kalau dijual bisa dapat Rp 300.000 sekali melaut. Itu belum dihitung operasionalnya, beli solar dan segala macam, bisa habis Rp 200.000. Berarti sisanya Rp 100.000, belum lagi para awak nelayan,” beber Suharto.

Pihaknya berharap keberadaan kapal besar itu bisa segera ditertibkan, seperti yang dilakukan Kementerian Kelautan beberapa tahun lalu. Soalnya, dengan kemampuan kapal, seharusnya mereka mencari ikan di perairan yang jauh dari pantai.

“Dulu pernah pada takut kapal yang menggunakan pukat harimau, dan tidak ada yang berani melaut ketika jamannya Bu Susi (mantan Menteri Kelautan dan Perikanan). Saat Bu Susi sudah nggak jadi menteri, jadi banyak kapal-kapal besar menggunakan pukat harimau,” sesalnya.

Selain tentang kapal besar dan pukat harimau, nelayan juga mengeluhkan sulitnya mereka memperoleh solar untuk bahan bakar kapal. Bahkan mereka harus pergi ke Karawang, lantaran tidak ada SPBU di Muaragembong.

Menanggapi keluhan nelayan tersebut, Dani mengaku telah melaporkannya ke Dinas Kelautan Jawa Barat. Sebab, persoalan laut kini telah menjadi kewenangan pemerintah di tingkat provinsi dan pusat. Kendati demikian, Dani menegaskan, akan terus mengawal usulan nelayan agar bisa segera direalisasikan.

“Saya sudah komunikasi langsung dengan Kepala Dinas Kelautan Jabar, tentang kondisi yang terjadi di Muaragembong. Memang soal pukat harimau dan keberadaan kapal besar ini, harus segera ditangani, karena menyulitkan nelayan dan juga merusak lingkungan. Maka saya dorong agar ini dapat segera diatasi,” tegas Dani.

Sedangkan terkait sulitnya solar, menurut Dani, persoalan tersebut juga terjadi di daerah lain. Namun, pihaknya akan tetap mengusulkan keberadaan SPBU khusus bagi nelayan di Muaragembong.

“Usulan sudah disampaikan ke Pertamina dan sedang dikaji. Saya berharap, bisa segera direalisasikan. Meski bukan SPBU besar, tapi yang kecil pun tidak masalah, agar kebutuhan solar nelayan bisa tercukupi,” tutup Dani. (and)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin