Berita Bekasi Nomor Satu
Bekasi  

Berulang Melakukan Pelanggaran

Kuliah dan Nilai Fiktif hingga Administrasi

ILJUSTRASI : Sejumlah mahasiwa mendatangi kampus STIR Tribuana Bekasi.Mereka menuntut kejelasan nasib pendidikannya. RAIZA SEPTIANTO/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Tribuana berulang kali melakukan pelanggaran pendidikan perguruan tinggi. Meskipun sudah mendapat peringatan, namun tidak ada upaya untuk perbaikan. Hingga akhirnya, Direktorat jenderal Perguruan Tinggi Riset dan Teknologi mencabut izin pendirian perguruan tinggi pada Mei lalu.

Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi (Dikti Ristek), Lukman mengatakan bahwa pelanggaran sudah terjadi berulang, tercatat tiga kali melakukan kesalahan dalam dua tahun terakhir.”Tahun lalu kena sanksi berat, lalu kita cabut sanksinya sekarang mengulangi kesalahan lebih parah,” katanya.

Maksud dari kesalahan lebih parah ini kata dia, bertambah jumlah dan tingkat kesalahannya dalam hal pembelajaran fiktif. Selain itu, pelaporan data mahasiswa di PDDIKTI tidak didukung oleh adanya dokumen autentik yang membuktikan bahwa mahasiswa benar-benar telah mengikuti perkuliahan di STIE Tribuana, seperti formulir pendaftaran yang manipulatif dan nilai-nilai mata kuliah fiktif.

Selain itu, ditemukan klaim adanya aktivitas perkuliahan pada mahasiswa namun tidak wajar sebagaimana dilaporkan ke PDDIKTI, di mana dalam satu semester mahasiswa dilaporkan menempuh lebih dari 24 sks, bahkan sampai 58 sks.Pelaporan nilai fiktif yang tidak sesuai dengan perolehan nilai dari dosen juga terjadi untuk banyak mata kuliah.

Berdasarkan hasil Monitoring dan Evaluasi, banyak pelanggaran berulang yang dilakukan oleh STIE Tribuana, menurut Lukman, surat keputusan sanksi hanya bisa dibatalkan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).”Betul, yang bisa batalkan SK hanya lewat PTUN,” tambahnya.

Sementara itu, Owner STIE Tribuana, Suroyo mengaku STIE Tribuana telah berusaha mengklarifikasi beberapa tuduhan yang beredar belakangan ini mencuat. Menurutnya, tidak ada satupun pelanggaran kategori berat yang ditemukan, seperti terlampir pada Permendikbud nomor 7 tahun 2020, khususnya pada pasal 71. Terkait dengan jual beli ijazah, pihaknya juga telah mengklarifikasi hal tersebut kepada pihak-pihak terkait. Namun, upaya tersebut tidak mendapat penjelasan.

“Perkara ada jual beli ijazah, saya sudah klarifikasi ke Itjen, ke Dirjen, ke Dir Kelembagaan, dan LLDIKTI IV. Tapi kami di pingpong, tidak ada penjelasan sama sekali,” paparnya.

Dewasa ini, ia mendapatkan istilah jual beli ijazah dari media massa. Untuk membuktikan itu, Suroyo meminta kepada siapapun yang dapat membuktikan fakta jual beli ijazah tersebut untuk dilaporkan kepada dirinya guna membuktikan siapa penjual dan pembelinya.

Ia berencana menjadikan ini sebagai sayembara, dengan hadiah 20 kali lipat uang yang dikeluarkan untuk membeli ijazah tersebut. Bahkan, ia berencana menuntut media massa yang dinilai terlalu menghakimi jika tidak bisa membuktikan jual beli ijazah tersebut, dengan alasan civitas akademika telah dirugikan harkat dan martabatnya.

Suroto mengatakan bahwa selama dua tahun belakangan, pimpinan perguruan tinggi belum pernah mengeluarkan ijazah.Terkait dengan keputusan yang diterbitkan oleh Plt Dirjen Dikti Kemendikbud Ristek, ia mengaku sementara waktu ini menerima keputusan tersebut. Pihaknya telah mempelajari hasil Monev yang berisi dugaan-dugaan, serta telah diklarifikasi.

Disepakati bahwa dugaan-dugaan tersebut merupakan kesalahan teknis atau Human Error dengan kategori pelanggaran ringan, atau maksimal pelanggaran sedang. Hal ini kata dia, disepakati bersama antara tim EKA PT, rektorat, dan yayasan

“Sambil kami menunggu proses selanjutnya, Baim proses secara peraturan perundang-undangan Permendikbud nomor 7 tahun dua ribu, dan kemudian mungkin dari proses PTUN,” ungkapnya.

Suroto meyakini bahwa pihak yayasan akan bertanggung jawab terhadap kelanjutan pendidikan mahasiswa. Ia mempersilahkan mahasiswa yang berencana untuk pindah PT, tanpa pungutan biaya apapun.

Sementara bagi mahasiswa yang tidak memiliki biaya, yayasan melalui pihak PT telah menyalurkan satu per satu mahasiswanya ke PT lain, yakni sekolah tinggi ekonomi Mitra Karya. Ia meyakinkan akreditasi PT sama dengan STIE Tribuana.

“Kalau mau pindah sendiri silahkan. Jadi apabila ada mahasiswa mengatakan dipungut satu semester apalagi KIP, dipungut satu semester oleh rektorat atau pihak kampus, harus dipertanggungjawabkan itu, karena itu saya yakin itu hoax,” tambahnya.

Bagi mahasiswa yang selama ini menerima beasiswa yayasan kata dia, sudah sepantasnya harus mengikuti alur yayasan, termasuk dimana mereka akan dipindahkan. Lantaran telah menandatangani surat kontrak dengan yayasan yang telah membantu biaya pendidikan sebesar Rp3 juta per bulan, maka untuk pindah PT di luar ketentuan yayasan harus menggantikan yang yang selama ini didapat dari program beasiswa yayasan tersebut.

Terpisah, sejumlah mahasiswa STIE Tribuana mengaku, selama ini merasa dipersulit oleh pihak kampus saat mengurus administrasi perkuliahan. Bahkan, meminta surat pindah kampus tidak mendapatkan respon,”Kalau memang merasa benar, kenapa kami dipersulit.”kata salah satu mahasiswa STIE Tribuana. (sur)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin