Berita Bekasi Nomor Satu

Cerita Petani yang Masih Bertahan, Dulu Kelola Tanah Keluarga, Sekarang Hanya Lahan Garapan

Besih (50) memanggup pacul saat akan menggarap sawah. RAIZA SEPTIANTO/RADAR BEKASI

 

Berprofesi sebagai petani saat ini tidaklah mudah. Tidak banyak warga Kota Bekasi yang masih menekuni profesi ini. Selain lahan pertanian yang semakin menyempit, ongkos mengelola sawah yang relatif mahal menjadi salah satu kendala.

Laporan: Surya Bagus

Mustikajaya

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Jarum jam tepat menunjukkan pukul 07:00 WIB saat Radar Bekasi sampai di pelataran rumah Besih (50) di Kampung Babakan, Kelurahan Mustikajaya, Kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi.

Arsitektur rumah klasik dengan pelataran luas, dua bale bambu terletak halaman rumah yang digunakan untuk bersantai. Tidak lama menunggu di pelataran rumah, Besih keluar dari dalam rumah seraya membawa cangkir gelas plastik berisi kopi susu sambil duduk sejenak sebelum bergegas ke sawah garapannya.

Besih merupakan salah satu petani yang ada di Kota Bekasi. Lebih dari 20 tahun ia menggarap tanah milik perusahaan yang belum dimanfaatkan. Padi hasil tani ia gunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sebagian lagi dibagi ke empat anaknya yang saat ini sudah berkeluarga. Kalau lebih dan sudah mendekati waktu panen berikutnya, sisa gabah baru ia jual.

“Kalau banyak dijual, misalnya dua bulan lagi panen, saya sisain buat dua bulan. Ilok kita nyawah, beras beli,” katanya.

Bagi Besih, yang paling penting beras selalu tersedia di rumah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia mengaku hasil bertani cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarganya sehari-hari. Di samping sang istri yang juga masih bekerja sebagai buruh dengan bayaran Rp30 ribu per hari.

Berangkat ke sawah semaunya, tidak pernah kekurangan beras, serta tidak banyak terpengaruh oleh naiknya harga BBM, itu yang ia rasakan sebagai selama bertani. Meskipun, kehidupan keluarganya nampak cukup sederhana, prioritas utama hasil tani untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga sehari-hari.

Tentang untung rugi, Besih tidak bisa menjawab. Bagi petani, kata dia, modal dan keuntungan tidak bisa dipastikan. Pasalnya, hanya kelebihan persediaan padi hasil panen yang biasa dijual setelah benar-benar bisa dipastikan kebutuhan keluarga tercukupi.

“Kalau pedagang harus ada hitungannya, kalau petani mah udah nggak dihitung itu. Karena taninya bukan kaya di Jawa, kalau di Jawa mah buat dijual ke pasar, kalau ini mah buat makan,” tambahnya.

Besaran modal yang pasti ia keluarkan sekira Rp1 juta untuk biaya membajak sawah dan upah buruh tani ketika menanam padi. Bibit ia sudah persiapkan dari hasil panen sebelumnya. Sedangkan pupuk, ia mengaku sebagian besar petani di sekitar lahan garapan miliknya, tidak menggunakan pupuk.

Yang perlu diantisipasi adalah hama, maka biaya selanjutnya yang harus disiapkan adalah biaya untuk membeli pembasmi hama, biaya ia sehari-hari. Hitung-hitungan Besih, total biaya yang harus ia keluarkan mencapai Rp2 juta.

Setelah berbincang di pelataran rumah, Besih mulai bersiap untuk pergi ke sawah, letaknya sekira 500 meter dari rumahnya. Sekira pukul 07.45 WIB, ia bertolak menggunakan sepeda motor. Hanya butuh waktu kurang dari 15 menit untuk sampai ke tanah garapan, terletak di perbatasan wilayah Kelurahan Padurenan dan Bantargebang.

Setibanya di tanah garapan, ia lantas menuju ke kandang bebek miliknya untuk membuka pintu, puluhan bebek keluar dari kandang berlarian ke berbagai arah. Selain bebek di sawah, ia juga memelihara ayam. Itu nampak saat berada di halaman rumah, sewaktu-waktu bisa ia manfaatkan untuk keluarganya.

Total ada delapan petak sawah yang digarap oleh Besih, dengan luas seluruhnya 800 meter, tanah garapan ini akan terus ia manfaatkan sebelum pemiliknya memulai pemanfaatan tanah. Minimnya lahan pertanian di wilayah Kota yang membuat Besih tidak ingin anak-anaknya menjadi petani, saat ini sebagian anaknya menjadi ibu rumah tangga, sebagian lagi bekerja di perusahaan.

Hama dan burung adalah musuh utama petani di sini. Nampak dari sisa-sisa pohon padi yang tersisa, tidak ikut dipanen dua bulan yang lalu. Dalam satu tahun, petani bisa menikmati tiga kali masa panen, empat bulan waktu yang dibutuhkan dalam satu kali masa tanam.

Semua petak sawah di atas tanah yang terhampar luas masih kosong, semua petani belum memulai untuk kembali menanam padi. Rencananya Oktober nanti para petani akan memulai kembali menanam padi.

Dalam satu kali panen, Besih bisa menghasilkan 1 ton gabah dengan catatan tidak banyak dimakan burung dan diganggu hama. Jika membutuhkan uang, ia bisa menjual gabahnya seharga Rp500 ribu per kuintal, tapi itu bukan harga mati tergantung kualitas gabah.

Biasanya ia menjual gabahnya ke tempat penggilingan padi, lokasinya tidak jauh dari tanah sawahnya. Selain tempat penggilingan padi, gabah juga terkadang ia jual kepada warga sekitar. Biasanya warga yang akan melaksanakan acara besar seperti pernikahan.

“Macam kalau ada Peketan (hajatan), satu rumah itu kuat dapat Rp1 juta (hasil menjual gabah),” ungkapnya.

Warga asli Bekasi ini mengaku belum pernah sama sekali bekerja di pabrik atau perusahaan lain. Sejak awal ia bertani, dari mulai tanah milik keluarga, hingga saat ini di tanah garapan. Karena alasan usia, saat ini ia hanya menanam padi, tidak lagi menanam hasil tani lain seperti sayur-sayuran.

Ketahanan pangan dewasa ini menjadi topik hangat di tengah ancaman resesi, bahkan beberapa pejabat negara sampai presiden pernah meminta masyarakat untuk menanam sejumlah komoditas di lingkungan tempat tinggal.

Pada September ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami inflasi sebesar 1,17 persen, harga BBM, beras, dan angkutan dalam kota menjadi penyumbang utama. Kondisi ini membuat inflasi tahunan ikut terkerek ke angka 5,95 persen.

“Inflasi September sebesar 1,17 persen, tertinggi sejak Desember 2014,” kata Kepala BPS, Margo Yuwono dalam paparan bulanan BPS, Senin (3/10).

Sementara itu, Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan meminta agar pemerintah daerah rajin memantau harga pasar. Ia menyebut pengaruh besar kepada tingkat inflasi sangat tinggi, mencapai 3,33 persen.

Pemerintah kata Zulkifli, akan berkoordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan agar harga beras bisa terkendali.

“Jadi kalau harganya naik, jangankan Rp100 perak, Rp10 aja bagi masyarakat miskin sangat terdampak, Oleh karena itu, Pemerintah Daerah harus terus mengecek stok di pasar, salah satunya Pasar Induk Beras Cipinang,” katanya dalam konferensi pers di Pasar Beras Cipinang kemarin.

Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan (DKPPP) Kota Bekasi menyebut bahwa persediaan bahan pokok di Kota Bekasi masih terpantau aman. Hal ini didukung oleh pasokan bahan pokok yang memadai dari pasar Induk Cibitung dan Kramatjati.

Meskipun, tidak dipungkiri ada kenaikan harga sejumlah bahan pokok. “Jadi kalau masalah ketersediaan kita tidak ada masalah. Namun ada kenaikan harga ya, tapi pemerintah Kota Bekasi selalu antisipasi juga,” kata Kepala DKPPP Kota Bekasi, Herbert Panjaitan. (*)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Solverwp- WordPress Theme and Plugin