Berita Bekasi Nomor Satu

DSDA BMBK Normalisasi Saluran Air 20 Km

KERUK SAMPAH: Sebuah alat berat mengeruk sampah dari kali untuk sebagai bentuk normalisasi saluran air, di Karangbahagia, Kabupaten Bekasi, Rabu (14/6). ARIESANT/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi melalui Dinas Sumber Daya Air, Bina Marga dan Bina Konstruksi (DSDA BMBK), terus mencari solusi dalam mengatasi kekeringan ratusan hektar sawah. Salah satunya, dengan melakukan normalisasi saluran air sepanjang 20 Km.

Kepala Dinas Sumber Daya Air Bina Marga dan Bina Konstruksi Kabupaten Bekasi, Henri Lincoln mengaku, pihaknya sudah mulai melakukan normalisasi beberapa titik saluran sekunder, tujuannya agar sawah dapat teraliri air.

“Secara keseluruhan, panjang kali atau saluran sekunder yang sudah kami lakukan normalisasi ada 20 Km, dan tersebar di sejumlah wilayah kecamatan di Kabupaten Bekasi, tentu dilakukan secara bertahap,” ucap Henri, Rabu (14/6).

Selain untuk mengatasi kekeringan sawah demi memudahkan kelancaran aliran air ke saluran atau sungai kecil, kata Hendri, tujuan jangka panjang dari normalisasi ini, diharapkan mampu mengatasi masalah banjir.

“Ada dua fungsi dari normalisasi yang kami lakukan, yakni untuk mengatasi banjir dan dan kekeringan sawah. Sekaligus mitigasi kebencanaan,” terangnya.

Adapun wilayah yang dinormalisasi, diantaranya Kecamatan Sukatani, Karangbahagia, Muaragembong, Pebayuran, Setu. Namun saat ditanya berapa anggaran untuk normalisasi 20 Km saluran air itu, Henri mengaku harus melihat data terlebih dahulu.

“Kalau jumlah anggarannya saya tidak hafal, karena dibagi beberapa kegiatan. Kalau saya tidak salah, total secara keseluruhan mencapai belasan miliar,” kata Henri.

Sebagaimana diketahui, masalah kekeringan yang melanda 255 hektar di Kabupaten Bekasi, itu tersebar di enam desa, yakni Desa Sukaraya, Karangrahayu, Karangsetia, Karanganyar, Karangsentosa dan Karangbahagia.

Dampak kekeringan itu, produksi serta kualitas tanaman padi para petani di Kecamatan Karangbahagia, mengalami penurunan. Sawah mereka mulai mengering hampir dua bulan terakhir. Minimnya aliran air dari saluran irigasi setempat, membuat sawah terancam gagal panen.

Salah satu petani, Rimun (74) menyampaikan, sawah miliknya dialiri air yang cukup saat pertama kali menanam padi. Namun, setelah padi berumur 1-2 bulan, sawah mulai mengering, dan kini nyaris tidak ada kandungan air. Akibatnya, pertumbuhan padi pun terganggu.

“Sampai umur padi dua bulan, air masih ada. Sekarang sama sekali nggak ada air. Tanaman padi itu sulit berkembang kalau tidak ada air,” ucapnya.

Rimun memiliki empat petak sawah dengan luas mencapai 6.000 meter persegi. Sawah miliknya ditanami padi jenis inpari 32. Varietas padi yang tahan terhadap penyakit dan hama ini, tetap sulit berkembang jika kekurangan air.

“Biasanya begitu ada air, langsung dikasih pupuk urea, baru subur lagi. Tapi kalau sekarang sudah nggak ada air. Bahkan kami sempat melakukan aksi demo ke kecamatan,” tuturnya.

Rimun berharap kondisi ini segera ditangani karena telah membuat petani merugi. Untuk memulai menanam padi, Rimun mengaku sudah mengeluarkan modal Rp 5,5 juta untuk empat petak sawahnya.

“Ya sudah rugi. Sewa traktor sama nandur saja sudah Rp 3 juta. Belum obat semprot Rp 1,7 juta. Sama yang lainnya habis Rp 5,5 juta. Harapannya pengen bagus lagi airnya. Minimal ini bisa balik modal,” imbuhnya.

Selain itu, keringnya sawah juga disebabkan karena sistem irigasi yang buruk. Belum lagi banyak saluran yang terhambat sedimentasi yang tinggi serta tersumbat sampah.

“Jadi, saluran di atasnya itu katanya banyak sampah, sehingga air kesumbat. Seharusnya ini bisa cepat dibenahi, biar air bagus lagi. Kami juga pengen ada pelebaran irigasi, supaya pertanian tidak terganggu,” tutup Rimun. (and)

 


Solverwp- WordPress Theme and Plugin