Berita Bekasi Nomor Satu

Bekasi Makin Panas

ILUSTRASI : Pemandangan sore hari di Kota Bekasi. Sejak 2018 lalu, suhu di Bekasi semakin meningkat seiring minimnya Ruang terbuka Hijau.RAIZA SEPTIANTO/RADAR BEKASI
ILUSTRASI : Pemandangan sore hari di Kota Bekasi. Sejak 2018 lalu, suhu di Bekasi semakin meningkat seiring minimnya Ruang terbuka Hijau.RAIZA SEPTIANTO/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Bagi sebagian masyarakat Bekasi, mungkin sudah tidak asing lagi dengan cuaca yang makin panas akhir-akhir ini. Ya, sejak tahun 2018 hingga 2021 ini Bekasi masih termasuk dalam daftar daerah terpanas di Indonesia. Bahkan setiap tahun suhu di Bekasi terus meningkat.

Tahun 2018 lalu, Bekasi masuk dalam salah satu daftar kota terpanas dengan suhu udara mencapai 35 derajat celcius. Tahun ini, Bekasi kembali dikabarkan masuk sebagai daerah terpanas dengan suhu udara 24 derajat celcius pada pagi hari, 32 derajat celcius pada siang hari, pernah mencatat suhu udara hingga 37 derajat celcius pada siang hari.

Suhu panas ini mengiringi dampak perubahan iklim yang telah terjadi dan akan terus terjadi di masa-masa mendatang. Terbaru, Pusat Informasi Lingkungan Nasional NOAA mencatat perbedaan suhu terpanas di dunia yang pernah tercatat pada bulan Juli kemarin.

Usaha yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk meminimalisir dampak perubahan iklim ini, yakni dengan lebih ambisius dalam meningkatkan komitmen iklim, membuat kajian lingkungan khusus di wilayah pesisir pantai, menertibkan bangunan untuk menggunakan model kontruksi lebih ramah lingkungan, serta lebih tegas dalam melakukan edukasi dan penindakan terhadap pelaku industri tidak ramah lingkungan.

Suhu panas di bumi yang terus meningkat ini disebabkan oleh efek atau gas rumah kaca yang terbentuk oleh gas emisi atau gas buang yang dihasilkan dari aktivitas manusia, termasuk uap air. Tentang gas emisi ini, Maret lalu Bekasi tercatat sebagai kota nomor tiga kualitas udara terburuk di Asia Tenggara, data ini disajikan oleh World Air Quality Report tahun 2020.

Peneliti Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Adila Isfanfiari menyebut situasi saat ini sebagai krisis iklim. Dalam situasi ini masyarakat dan pemerintah harus berlomba dengan waktu sebelum suhu panas di bumi baik terlampau tinggi. Gas rumah kaca yang semakin membesar oleh masihnya pembangunan, penggunaan bahan bakar fosil, dan alih guna lahan membuat panas matahari yang masuk ke bumi tidak bisa kembali ke angkasa, hal ini melatarbelakangi tidak hanya Bekasi melainkan seluruh permukaan bumi menjadi lebih panas.

“Itu yang terjadi saat ini di bumi kita, kenapa bumi kita makin panas, termasuk tadi beberapa kota dengan suhu panas termasuk Bekasi,” paparnya.

Krisis iklim ini memicu munculnya kejadian-kejadian ekstrim, mulai dari suhu panas yang ekstrim, hujan ekstrim, kenaikan muka air laut, hingga siklon Seroja di Nusa Tenggara Timur yang tidak sepantasnya terjadi di wilayah ekuator.

Dampaknya, 2019 lalu musim panas lebih panas dan panjang dibandingkan sebelumnya menyebabkan kebakaran hutan terjadi di beberapa negara termasuk Indonesia dengan kerugian Rp80 triliun. Di sektor pertanian, gagal panen pada musim kemarau mencapai 3 ribu hektar, sementara dimusim penghujan mencapai 10 ribu hektar.

Tiap kota memiliki masalah masing-masing akibat perubahan iklim, Bekasi cenderung akan merasakan suhu udara lebih panas. Sementara di wilayah lain seperti Semarang, harus berhadapan dengan naiknya muka air laut.

“Sebenarnya masing-masing kota itu punya masalahnya sendiri, kalau kita ngomongin Bekasi ya dapatnya itu tadi, panasnya ekstrim banget. Kalau kota lain seperti Jakarta tidak sepanas itu (Bekasi), ya mungkin ada pengaruh lain (wilayah industri) juga dari Bekasi,” tambahnya.

Pemerintah Indonesia telah memiliki komitmen iklim untuk mengurangi gas rumah kaca 29 persen di tahun 2030. Komitmen tersebut dianggap sangat kurang, lantaran jika semua negara mengikuti komitmen iklim Indonesia, maka kenaikan temperatur global yang terjadi mencapai 4 derajat celcius pada tahun 2100, padahal dunia membatasi kenaikan hanya 1,5 derajat celcius di tahun 2100.

“Ketika kita mendahulukan pembangunan ekonomi, terus kita bilang ah nanti aja lah lingkungan, ya kaya tadi, kerugian-kerugiannya akan berimbas lagi ke ekonomi kita,” tukasnya.

Isu lingkungan ini juga menjadi perhatian Koalisi Kawali Indonesia Lestari (Kawali), respon terhadap perubahan iklim ini pertama difokuskan di wilayah Jabodetabekka. Salah satunya di wilayah pesisir utara Bekasi.

Beberapa faktor yang dinilai menjadi faktor perubahan iklim ini adalah wilayah industri dan bangunan tidak ramah lingkungan, hingga perhatian khusus pada wilayah pesisir pantai, yakni hutan mangrove. Pemerintah, pelaku usaha industri, hingga masyarakat mesti lebih peduli terhadap isu perubahan iklim ini, sebelum menciptakan situasi mengerikan bagi Bekasi.

“Sangat besar sekali (faktor dari sektor industri), karena pertama dari jenis industri nya, misalnya industri pengolahan kertas itu pengaruhnya dari hulu sampai ke hilir, dari seberang (tempat mendapatkan bahan baku kertas) sampai ke Bekasi pada saat melakukan produksi,” terang Ketua Umum Kawal Lingkungan Hidup (Kawali), Puput TD Putra.

Perbaikan dan kepedulian terhadap lingkungan harus dilakukan mulai dari wilayah pesisir, wilayah industri, hingga pusat kota di Bekasi. Untuk pusat kota, perhatian perlu difokuskan pada konstruksi bangunan ramah lingkungan.

“Harus memperhatikan model konstruksinya terkait dengan efek rumah kaca itu, kita bisa lihat konsep gedung dengan tanaman untuk mendukung konstruksi, terus juga sistem penanganannya terkoneksi dengan serapan, jadi air jatuh dari gedung langsung tertampung di ruang serapannya,” tukasnya.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut perubahan iklim sudah terjadi dan akan terus terjadi, hal ini ditunjukkan oleh perubahan suhu semakin naik. Selain cenderung naik, suhu udara dan curah hujan juga bervariasi tiap waktu. Kasus di kota besar seperti Bekasi, suhu udara dapat bervariasi dan menjadi lebih panas di musim kemarau.

“Hal ini ditunjukkan oleh suhu udara yang semakin naik secara global di seluruh permukaan bumi, termasuk di Indonesia,” Kata Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG, Dodo Gunawan.

Hal ini diantaranya karena perubahan bentuk pemantulan panas, dari ruang-ruang hijau menjadi benda yang memantulkan suhu seperti aspal dan beton. Radiasi matahari yang masuk ke atmosfer bumi ditangkap oleh gas rumah kaca, sehingga membuat manusia di bumi seakan berada di rumah kaca yang panas.

Pada bulan yang sama di tahun ini, suhu udara disebut lebih panas dibandingkan dengan suhu udara di bulan yang sama pada tahun 2020. Perubahan yang terlihat dalam kurun waktu satu tahun relatif kecil, namun jika dilihat dalam jangka waktu bertahun-tahun akan nampak terus bergerak naik.

“Tapi kalau ditarik garis jangka waktu panjang, cenderung tren garisnya naik,” tambahnya.

Beberapa waktu lalu BMKG meminta komitmen penuh pemerintah daerah dalam aksi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Peran pemerintah daerah dinilai sangat penting ditengah laju pembangunan yang masif.

Tahun 2020 lalu adalah tahun terpanas kedua dalam catatan dan pengamatan di 91 stasiun BMKG, suhu rata-rata permukaan lebih tinggi 0,7 derajat celcius dibandingkan rata-rata tahun 1981 sampai 2010.

Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG, Fachri Rajab menjelaskan cuaca panas yang terjadi belakangan ini disebabkan karena sebagian besar wilayah di Indonesia masih berada dalam periode musim kemarau. Untuk wilayah Bekasi, musim penghujan diperkirakan terjadi pada awal Oktober mendatang.

“Awal musim hujan di Bekasi sekitar awal Oktober,” ungkapnya. (sur)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin