Berita Bekasi Nomor Satu

Gosip People Power dalam “Kungkungan Eksternalitas”

Oleh: Naupal Al Rasyid, SH., MH

Naupal Al Rasyid, SH., MH, Direktur LBH FRAKSI 98

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Istilah “people power” adalah Penggulingan kekuasaan Presiden secara paksa melalui aksi demonstrasi rakyat. Seluruh rakyat turun ke jalan agar Presiden meletakkan jabatannya karena dinilai telah melanggar konstitusi atau melakukan penyimpangan.

Konsep “people power” sebagai sebuah gerakan pertama kali digunakan di Tahiti pada awal 1960-an, sebagai bagian dari perjuangan anti-kekaisaran yang lebih luas. Selanjutnya, pada 25 Februari 1986 Cory Aquino dan para pendukungnya mengumumkan berakhirnya kediktatoran di Filipina dan gerakan people power tanpa pertumpahan darah telah menang dan menggulingkan rezim Ferdinand Marcos.

Selain Filipina, Indonesia juga tercatat pernah melakukan gerakan kekuatan rakyat ini dalam melawan penguasa Orde Baru pada saat itu, yang dalam gerakan ini rakyat berhasil menurunkan Presiden kedua RI, Soeharto, yang tercatat telah 32 tahun berkuasa di republik ini.

Menurut Nicholas Henry (2011), “people power” merupakan perubahan politik yang dilangsungkan secara tiba-tiba dan dramatis. Memobilisasi massa untuk tujuan menggulingkan rezim negara. People Power adalah bagian dari perlawanan tanpa kekerasan.

Walaupun istilah people power baru dipopulerkan di Indonesia tahun 1998, untuk menyebut gerakan menumbangkan Orde Baru. Namun konsepsi “people power” bukanlah gerakan Makar.

Jadi, people power adalah gerakan massa dari bagian mekanisme suksesi kepemimpinan di dalam demokrasi baik dengan tujuan menggulingkan kekuasaan ataupun tujuan politik lainnya melalui aksi demonstrasi rakyat. (Ainul Mizan, 2019).

Dari penjelasan berkaitan dengan istilah dan sejarah perkembangan people power sebelumnya, setidaknya telah menggambarkan ruang lingkup penggunaan konteks people power dalam perpolitikan suatu negara.

People power berusaha membangkitkan dan menyatukan kekuatan rakyat dengan upaya mobilisasi jumlah massa di tempat-tempat umum guna menekan seorang penguasa yang dianggap otoriter dan menyengsarakan rakyat.

Tetapi dalam konteks tersebut, people power sangatlah rentan disusupi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, mengingat mobilitas masa yang besar secara serempak tanpa terstruktur dengan baik satu dengan yang lain.

Gerakan “people power” yang sering didengungkan oleh sekelompok orang pada saat ini, tendensinya lebih terlihat sebagai bentuk mobilisasi rakyat untuk kepentingan elite politik, disini rakyat hanya digunakan sebagai tameng. Inilah yang kemudian diklasifikasikan dengan istilah “people power dalam kungkungan eksternalitas”.

Apabila people power diartikan demikian, maka people power adalah merupakan sebuah format ilegal dan tidak diakui dalam demokrasi, sebab titik batas toleransi yang dibangun sebuah negara sepanjang tidak terjadi situasi mobilisasi rakyat yang anarkis yaitu perbuatan atau tindakan yang dapat menciptakan kondisi merusak ketertiban sampai-sampai menyebabkan kekacauan.

Mobilisasi “people power dalam kungkungan eksternalitas”, menimbulkan antipati karena memang people power hidup sebagai model alternatif atas kontradiksi otoritarianisme. Begitu juga sebaliknya, upaya untuk melakukan tindakan dekonstruksi kehidupan publik dengan mengatasnamakan kepentingan publik niscaya tidak akan mampu merebut perluasan simpati publik.

Kajian komunikasi menempatkan rasionalitas naratif untuk menilai apakah sebuah narasi “people power” dapat dipercaya atau tidak, dengan mengandalkan dua kategori, yakni (Fisher, 1984): Pertama, Koherensi coherence (berbicara tentang konsistensi). Kedua, Kejujuran fidelity (ditopang oleh nalar berlogika).

Untuk kasus narasi people power, maka para pihak membangun rasionalitas atas dasar kepentingannya adalah merupakan bagian dari pilihan subjektif, namun seharusnya harus melihat faktanya secara objektif, sudah banyak studi kasus yang dilakukan namun yang berakhir dilakukan dengan model alih kekuasaan melalui people power, sangat membutuhkan banyak persyaratan penyerta termasuk pada buruknya kualitas kehidupan sosial, ekonomi dan politik.

Apabila sebahagian publik menilai perlu ada people power sebagai ekspresi politik, sebaiknya hal tersebut segera ditindaklanjuti dengan mekanisme diplomatis bukan mempergunakan instrumen kekuasaan untuk meredamnya, sebab apabila langkah terakhir dilakukan mekanisme represif dipertunjukan tentu menjadi sebuah kemunduran dari kehidupan berdemokrasi.

Cara-cara mobilisasi “people power” yang dilakukan oleh kelompok tertentu, yang menciptakan stigmatisasi dan generalisasi pada masyarakat yang lain sebagai dampak dari tindakan people power tersebut, bahkan penguasa kelompok tersebut nekat melakukan tindakan-tindakan brutal dalam berpendapat.

Cara dan langkah ini, sangat berbahaya dan sangat ditentang dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur secara jelas baik itu mekanisme maupun sistem mengenai tindakan people power di Indonesia.

Namun jika merujuk pada makna dan maksud serta tujuan dilakukannya tindakan people power, maka terdapat beberapa peraturan yang dapat dijadikan landasan pelaksanaan dan payung hukum tentang tindakan people power di Indonesia yang pada pokoknya diatur pada Pasal 28 E Angka 3 UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.

Sebaliknya, sebuah gerakan people power yang tidak terkendali akan melakukan sesuatu yang merugikan diri sendiri, merugikan masyarakat, merugikan orang banyak.

Oleh karena itu, apabila gerakan people power perlu sekali diklasifikasikan dahulu, mulai dari siapa yang mengatakan, bagaimana bentuk people power yang akan dilangsungkan, apa tujuannya, caranya bagaimana, apa masalah, dan apa konteksnya.

Karena, apabila pengerahan massa people power tersebut bersifat kontraproduktif maka gerakan itu merupakan tindakan yang bertentangan dengan ajaran kebebasan menyampaikan pendapat sejatinya merupakan hak yang melekat pada setiap individu yang kemudian dikenal dengan Hak Asasi Manusia dan menjadi salah satu tanda negara demokrasi. (Ellya Rosana, 2016), sehingga bertentangan dengan people power yang mengundang ancaman atau ketakutan buat masyarakat maka sudah jelas people power sejenis ini berlawanan dengan kebebasan menyampaikan pendapat.

Suatu negara menurut Ali Mustofa Kamal (2015) disebut sebagai negara demokrasi manakala ia memberikan kebebasan hak kepada warganya untuk menyampaikan aspirasi pendapatnya baik lisan maupun tulisan. Jadi secara singkat bahwa demokrasi adalah suatu keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahannya berkedaulatan pada rakyat, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.

Namun demikian, mobilisasi “people power” yang dilakukan oleh kelompok tertentu tersebut, kembali bergantung pada kebijakan di suatu negara. Apalagi kemudian saat ini mengemukakan pendapat dapat dilakukan melalui media sosial tanpa batas.

Oleh karena itu, sejatinya kebebasan berpendapat di jelas gerakan people power pun sejatinya tidak bebas sebebas-bebasnya, perlu adanya batasan agar tidak disalahgunakan untuk menghina, merendahkan pihak lain, dan lain sebagainya.

Diantara kriteria di atas, secara jelas elemen kebebasan gerakan people power dijelaskan secara detail. Dukungan alam demokrasi untuk mengemukakan pendapat diberikan akses dan sangat luas dalam rangka kebaikan bersama.

Maka metode falsifikasi Karl Popper ini sangat mungkin dibandingkan dengan mobilisasi “people power” terjadinya perubahan-perubahan hanya berlangsung melalui revolusi-revolusi “people power”, yakni “Segala perkembangan nonkumulatif dimana paradigma yang terlebih dahulu ada diganti dengan tak terdamaikan lagi, keseluruhan maupun sebagian, dengan yang baru” (Chalmers, 1983). Semangat keilmuan yang dikandung oleh pemikiran Karl Popper ini, bahwa sebuah teori bukanlah kebenaran.

Teori masih membutuhkan pengkajian lebih jauh untuk menemukan kelemahan-kelemahan di dalamnya untuk kemudian dibangun sebuah penyempurnaan.

Sikap dogmatis pada sebuah teori tertentu akan membawa ilmuwan pada kematian ilmu pengetahuan. Sekali lagi, Popper mengatakan bahwa predikat terbaik yang bisa dicapai oleh sebuah teori adalah mendekati kebenaran, bukan kebenaran melalui revolusi-revolusi “people power”.

Tanpa adanya ruang demokrasi dalam kebebasan berpendapat maka yang terjadi mobilisasi “people power dalam kungkungan eksternalitas”, pengerahan massa people power tersebut bersifat kontraproduktif maka gerakan itu merupakan tindakan yang bertentangan dengan ajaran kebebasan menyampaikan pendapat, sejatinya merupakan hak yang melekat pada setiap individu yang kemudian dikenal dengan Hak Asasi Manusia dan menjadi salah satu tanda negara demokrasi.

People power yang selalu diidentikan dengan penyebaran propaganda melalui media sosial secara massif dalam bentuk aksi turun ke jalan secara serempak, meluas, dan pertemuan secara nasional secara kontraproduktif maka gerakan itu merupakan tindakan yang bertentangan dengan ajaran kebebasan menyampaikan pendapat, dimana penekanan dalam hal ini adalah semakin besar sumber daya yang dimobilisasi, semakin besar pula tekanan yang diterima.

Meskipun demikian, gerakan “people power” pun selalu dikait-kaitkan dengan implementasi perlindungan hak konstitusional dengan dalih sebagaimana Pasal 28 E Angka 3 UUD Tahun 1945, “bahwa Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan”, tentu hal tersebut selama masih dalam koridor yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945, maka people power yang dimaksud tersebut akan dianggap aktivitas yang konstitusional.

Namun sebaliknya, jika gerakan “people power” tersebut diluar koridor Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana praktiknya yang terjadi saat ini, dimana gerakan “people power” yang dimaksud ditujukan untuk menggulingkan dengan paksa pemerintahan yang sah, maka akan dapat digeneralisasi sebagai pergerakan inkonstitusional dan mobilisasi “people power dalam kungkungan eksternalitas”. (*) Direktur LBH FRAKSI 98

 


Solverwp- WordPress Theme and Plugin