Berita Bekasi Nomor Satu

Serikat Pekerja Tolak Tapera

Illustrasi: Sejumlah buruh pulang kerja dari Kawasan Industri MM2100 Cibitung, Kabupaten Bekasi, Selasa (14/4). Pemerintah Kabupaten Bekasi mengaku kesulitan mendata untuk kartu Prakerja yang merupakan program dari Pemerintah Pusat. ARIESANT/RADAR BEKASI
Illustrasi: Sejumlah buruh pulang kerja dari Kawasan Industri MM2100 Cibitung, Kabupaten Bekasi, Selasa (14/4). Pemerintah Kabupaten Bekasi mengaku kesulitan mendata untuk kartu Prakerja yang merupakan program dari Pemerintah Pusat. ARIESANT/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Kalangan pekerja di Bekasi menolak program tabungan perumahan rakyat (Tapera) yang diresmikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) lewat PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera yang mewajibkan masyarakat menjadi peserta Badan Pengelola (BP).

Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (PSPMI) Bekasi menilai aturan tersebut akan memberikan peluang kepada Tenaga Kerja Asing (TKA) untuk memiliki rumah di Indonesia, dengan alasan pasal 1 bab umum nomor 11, WNA dapat memiliki rumah di Indonesia asal mempunyai visa dan bekerja minimal enam bulan.

“Persoalan utama itu TKA, saya sebagai serikat pekerja tidak sepakat dengan tapera ini, karena TKA dapat memiliki rumah di Indonesia,” ujar Ketua PSPMI Bekasi, Suparno, saat dihubungi Radar Bekasi, Kamis (4/6).

Menurutnya, TKA harusnya tidak boleh diperuntukan mempunyai rumah dan segala macam. Padahal dari dulu yang nama WNA atau TKA tidak bisa mempunyai kepemilikan rumah di Indonesia. Kalau pun dia (TKA) mempunyai rumah atas nama orang Indonesia.

“Sekarang dengan adanya PP 25 tahun 2020 ini justru memberi peluang orang asing punya rumah. Itu sangat merugikan rakyat Indonesia. Ini kebijakan pemerintah untuk orang Indonesia apa orang asing,” tuturnya.

Pria asal Solo ini menjelaskan, di Indonesia mayoritas pekerja kontrak. Tercatat di Kabupaten Bekasi ada sekitar 1.500 pekerja, 50 persen diantaranya kontrak atau magang dan sebagainya. Kemudian yang menjadi pertanyaan, setelah dia (pekerja) habis kontrak bagaimana pengurusannya.

“Di Tapera itu tidak diatur detail untuk TKA, apakah hanya rumah susun, artinya TKA bisa beli tanah. Kalau seperti ini negara bisa terjual. Tapera ini harus direvisi atau dicabut. khususnya tentang TKA itu. Walaupun berlakunya bukan sekarang. Mumpung belum terlanjur,” ucapnya.

Dirinya menduga, apakah ini kesengajaan dari presiden tentang bab umum pasal 1 nomor 11. Atau ini pasal siluman, yang nantinya saat dikonfirmasi jawabannya tidak tahu.”Untuk langkah upaya hukum pasti. Khususnya di pasal 1 nomor 11 itu, karena melanggar aturan-aturan sebelumnya. Potensinya ada dua, apakah ini kesengajaan dari presiden,” tukasnya.

Senada, Koordinator Aliansi Buruh Bekasi melawan, Suparno meminta agar dicabut kembali PP nomor 25 tahun 2020 ini. Menurutnya, kebijakan tersebut mengorbankan pekerja dengan pemotongan gaji atau upahnya dengan besaran 2,5 persen.

Menurutnya, program ini akan menimbulkan pengendapan anggaran yang besar jika para pekerja atau buruh itu harus diwajibkan menjadi peserta Taspera, terutama pekerja berstatus kontrak di sebuah perusahaan yang tak jelas berapa lama kerjanya, tapi setiap bulan gaji atau upah mereka itu dipotong tiap bulan karena harus bayar iuran tersebut.

“Ini yang jadi masalah, kalaupun dia habis kontrak lalu potongan gaji tiap bulan yang dibayarkan sebagai peserta Taspera. Ini bisa menjadi potensi pengendapan anggaran, hingga adanya dugaan korupsi oleh para oknum. Sebaliknya, si pekerja sendiri sama sekali tak mendapat manfaat apa pun dari gajinya yang dipotong setiap bulannya selama bekerja,” tegasnya.

Dia juga merasa kecewa dengan terbitnya peraturan tersebut, khususnya terkait isi dari Pasal 1 Bab umum Nomor 11 yang menjelaskan bahwa seorang warga negara asing (WNA) ini juga dapat menjadi peserta Taspera, dengan syarat telah bekerja selama 6 bulan di Indonesia. Artinya, secara tidak langsung pemerintah telah izinkan untuk WNA memiliki rumah di sini. Padahal, sebelumnya aturan WNA diizinkan memiliki rumah di negeri ini sudah ada aturannya.

“Dengan adanya redaksi itu, tentu kami patut curiga kalau pemerintah memang telah memberikan peluang bagi WNA untuk diizinkan memiliki rumah di Indonesia, padahal UUD sudah mengatur syarat WNA boleh atau diizinkan memiliki rumah di tanah air ini, misalnya karena telah menikah dengan orang Indonesia dan lainnya. Entah, apa redaksi itu belum dibaca detail oleh presiden atau memang sengaja diselipkan,“ ungkapnya.

Terpisah, seorang warga Kota Bekasi yang merupakan pekerja swasta di bidang Farmasi, Tiar Surahmanto mengaku pernah mengetahui program tersebut. Yang dia tahu hanya untuk PNS. ”Setahu saya program ini hasil kerjasama pemerintah dengan developer, dan Tapera bisa digunakan ya buat rumah, jika tidak ya ga bisa cair katanya,” katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menyebut, PP ini bentuk penindasan kepada pekerja dengan cara mengambil upah atau gajinya. Bahkan, apabila dilihat dari besaran simpanan yang dibebankan sebesar 3 persen itu terlalu mahal dan memberatkan para pekerja.

“Bagi saya PP ini tidak humanis sekali, seolah-olah ingin membantu, padahal tidak. Sebaliknya, ini sebagai bentuk penindasan kepada pekerja dengan cara mengambil upah atau gaji yang nilainya pun terlalu tinggi,” tutur Uchok melalui pesan tertulis kepada Radar Bekasi, Kamis (4/6).

Menurut Uchok, para pekerja memiliki kebutuhan primer, bukan hanya butuh perumahan. Diantaranya, sekolahkan anaknya atau kebutuhan lain-lain buat keluarganya. Seharusnya, lanjut Uchok, peraturan ini bisa dibuat rangking iuran agar ada perbedaan antara pekerja dengan pejabat, atau pekerja yang memang notabenenya pejabat dengan level lebih tinggi rangking iuran harus lebih tinggi dari pekerja.

“Tapi pada prinsipnya, saya sangat menolak dengan aturan ini dan kalau perlu lebih baik PP dicabut kembali,” pungkasnya.

Sebagaimana tertuang pada pasal 7 PP Nomor 25 tahun 2020 ini, BP Tapera kini tidak hanya mengelola dana Perumahan Pegawai Negeri Sipil (PNS), melainkan buat seluruh pekerja perusahaan. Dan ini bersifat wajib, seperti untuk calon PNS, Aparatur Sipil Negara (ASN), prajurit dan siswa TNI, Polri, serta pejabat negara, BUMN, BUMD, Bumdes, dan perusahaan swasta, hingga pekerja apa pun yang menerima upah.

Adapun besaran iuran yang bakal dibebankan peserta BP Tapera atau pekerja berdasarkan pasal 15 ayat 1 PP 25 tahun 2020, yakni sebesar 3 persen dari gaji atau upah yang diterimanya dengan skema dari pekerja dan pemberi kerja. Untuk pemberi kerja dikenakan tanggungan 0,5 persen, sementara pekerja dikenakan 2,5 persen dari total gaji atau upahnya.

Anggota Komisi IX DPR RI Obon Tabroni menyambut baik program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Program ini sebenarnya tertuang dalam UU No 4 Tahun 2016, dan untuk pelaksanaannya baru-baru ini diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020.

Menurut Obon Tabroni, perumahan adalah hak rakyat. Tidak terkecuali bagi kaum buruh. Oleh karena itu, setiap buruh harus dipastikan bisa memiliki rumah. Dengan demikian, sasaran Tapera seharusnya adalah pekerja yang belum memiliki rumah.

“Untuk melihat program Tapera secara utuh, filosofinya dulu yang harus kita pahami. Bahwa setiap warga negara berhak memiliki rumah,” kata wakil rakyat asal Kabupaten Bekasi ini.

Obon yang juga Presiden Konfederasi Serikat Pekerja menuturkan, peserta tapera diberikan dalam bentuk rumah. Bukan dengan mengumpulkan uang kemudian buruh disuruh membeli rumah sendiri. Kendati demikian, Obon meminta, agar PP No 25 Tahun 2020 direvisi. Karena masih ada beberapa hal yang belum pas.

“Terkait dengan iuran. Jangan sampai iuran ini membebani buruh. Iuran sebesar 2,5% untuk buruh dan 0,5% untuk pengusaha dirasa memberatkan dalam situasi sulit ini. Mungkin mekanismenya bisa diubah, misalnya fifty-fifty atau ada subsidi dari pemerintah,” ucapnya. (pra/mhf)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin