Berita Bekasi Nomor Satu

Dulu Pengayuh Becak, Kini jadi ”Manusia Gorong-gorong”

TETAP TERSENYUM: Deni Kurniawan (43) membersihkan saluran air di Perumahan Duta Kranji, Bekasi Barat, Selasa (3/11). Dampak pandemi membuat Deni harus beralih profesi dari tukang becak menjadi "manusia Gorong-gorong" untuk menyambung hidup bersama ketiga anaknya. RAIZA SEPTIANTO/RADAR BEKASI
TETAP TERSENYUM: Deni Kurniawan (43) membersihkan saluran air di Perumahan Duta Kranji, Bekasi Barat, Selasa (3/11). Dampak pandemi membuat Deni harus beralih profesi dari tukang becak menjadi “manusia Gorong-gorong” untuk menyambung hidup bersama ketiga anaknya. RAIZA SEPTIANTO/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Selama masa pandemi, Denny Kurniawan (43) harus banting setir jadi ”manusia gorong-gorong” setelah penghasilannya sebagai pengayuh becak tak menentu di tengah Pandemi Covid-19. Aksi heroik Denny yang menyelam di pekatnya air got sempat menarik perhatian sejumlah pihak hingga Wakil Wali Kota Bekasi Tri Adhianto. Seperti apa kisahnya?, berikut laporannya.

SURYA BAGUS

Bekasi Barat

Tubuhnya penuh lumpur saluran air. Bau dan kotornya air got tak Denny hiraukan agar bisa tetap berjuang untuk keluarga dan membantu sesama.

Ya, pekerjaan Denny ini tak semua orang mau menggeluti. Ia menawarkan jasa pembersihan got atau gorong-gorong permukiman warga agar kembali berfungsi normal.

Pekerjaan yang ditekuni selama masa pandemi ini tidak sama sekali membuat ia menyerah. Padahal dua dari enam rekannya yang menekuni pekerjaan yang sama sudah memilih hengkang.

Kini, ia menekuni pekerjaan berat tersebut hanya bersama dengan tiga orang rekannya sebagai sebuah tim. Selain pundi-pundi uang yang didapatkan, meskipun tidak dalam jumlah besar, kepuasan batin tentunya dirasakan saat membantu membenahi lingkungan masyarakat. Terlebih memasuki musim penghujan seperti saat ini, kebersihan lingkungan adalah hal yang amat penting.

“Awalnya kan saya narik becak, terus selama pandemi ini order penarikan becak kan jadi sepi. Akhirnya pas di situasi mau masuk musim penghujan, ya kita melakukan pekerjaan ini. Rata-rata kalau masalah di pembersihan parit ini terletak pada gorong-gorong,” terangnya.

Selain aroma tidak sedap yang identik dengan saluran air, ancaman lainnya juga mengintai pekerjaan yang ia tekuni. Virus, kuman, pecahan kaca dari alat rumah tangga hingga bagian dari bangunan rumah, hewan yang biasa berada di saluran air mengintai. Pernah dalam suatu waktu, sepatu booth yang ia kenakan tertembus oleh pecahan kaca, sehingga melukai bagian kaki Denny.

Material yang mendominasi di dalam saluran air biasanya tidak jauh dari sampah domestik atau sampah rumah tangga serta endapan lumpur akibat saluran air yang telah lama tidak dilakukan normalisasi. Sedikit demi sedikit material tersebut diangkat oleh Denny dan ketiga temannya dari dalam saluran air ke permukaan.

Tidak ada banderol harga tetap untuk pekerjaan ini. Ia bersama kawannya yang lain menyerahkan pada kesanggupan masyarakat saja. Tak jarang dalam satu wilayah yang di lalui oleh beberapa rumah, satu diantaranya tidak memberikan bayaran, biasanya terjadi di lingkungan perumahan yang didominasi oleh warga berstatus pensiunan.

“Walau mereka nggak bayar, kan yang lain bayar ke kita, dari pada waktu normalisasi ini kita ada yang setengah-setengah (akhirnya ikut dikerjakan),” tambahnya.

Di salah satu lokasi normalisasi saluran air, ia sempat menerima upah hingga Rp5,4 juta. Selain untuk upah nominal itu juga diperuntukkan untuk membeli perlengkapan normalisasi. Uang yang tersisa dari biaya perlengkapan normalisasi saluran air dibagi merata sebagai upah, perharinya mengantongi Rp120 hingga Rp150 ribu.

Setelah pekerjaannya selesai, maka yang tersisa adalah aroma tidak sedap dan gatal di tubuhnya. Hal ini juga terpaksa membuat ia memilih menjaga jarak sementara waktu dengan sang istri yang tinggal di rumah sewaan di kawasan Bintara. Aroma tidak sedap ini hilang dalam satu hingga dua pekan setelah pekerjaan selesai.

Pekerjaan ini satu hari dilakukan selama 9 sampai 10 jam, hingga memasuki pukul 18.00. Berawal dari panggilan kelompok masyarakat di wilayah Kelurahan Bintara, saat ini ia sudah merambah wilayah lain, diantaranya perumahan Galaxy, Bekasi Selatan.

Sebelum tiba di Bekasi, ia sempat bekerja di industri otomotif hingga minuman siap saji selama tujuh tahun. Setelah itu, kurun waktu 2010, ia bertolak ke wilayah Bekasi bersama sang istri dengan niat mencari pekerjaan di sektor formal. Menunggu pekerjaan, Denny memilih untuk mengemudi becak, hingga membuatnya lupa dengan tujuan awalnya, lantaran penghasilan dari mengemudi becak dinilai lebih besar dibandingkan bekerja di sektor formal, hingga berhasil membeli becak sendiri setelah sebelumnya ia sewa.

Selama pandemi, penghasilannya dari mengemudi becak dinilai menurun, penghasilan tersebut ia berikan kepada istri dan tiga anaknya sebagai biaya hidup. Saat ini, ia tidak bisa seperti biasanya dalam situasi normal, ia tidak bisa pulang setiap pekan dengan alasan pandemi Covid-19.

“Kalau lagi pandemi gini duitnya aja yang pulang. Jadi jarang ketemu (anak dan istri), banyak transfer,” tukasnya.

Denny sejatinya memiliki empat buah hati, namun satu diantaranya lebih dulu meninggalkan keluarga untuk menghadap sang pencipta. Kini sulungnya tengah berjuang menempuh pendidikan di salah satu sekolah tinggi, berbekal beasiswa yang diterima, Denny bangga mampu membesarkan anaknya yang satu semester lagi bergelar sarjana.

Belum lama ini, aksi heroik Denny dengan menyelam di pekatnya air got yang sempat tersebar di sejumlah media sosial juga mendapat apresiasi. Salah satunya orang nomor dua di Kota Bekasi, yakni Wakil Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto.

Tri sempat mengunggah foto saat berbincang dengan Denny. ”Mas Deni mengajarkan kita, terutama di tengah pandemi ini untuk pantang menyerah, bekerja dengan ikhlas dan yang pasti terus berjuang, baik untuk keluarga maupun lingkungan,”tulis Tri di salah satu caption foto Instagramnya @mastriadhianto ketika bertemu Denny di RW 11 Kelurahan Bintara akhir September lalu. (*)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin