Berita Bekasi Nomor Satu

Awasi Alih Fungsi RTH

ILUSTRASI: Warga asik berteduh di kawasan Hutan Bambu Bekasi Timur, Rabu (21/10). Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Bekasi masih minim. RAIZA SEPTIANTO/RADAR BEKASI
ILUSTRASI: Warga asik berteduh di kawasan Hutan Bambu Bekasi Timur, Rabu (21/10). Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Bekasi masih minim. RAIZA SEPTIANTO/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Bekasi nampaknya masih jauh dari kata ideal. Bahkan sejumlah RTH kini dituding beralih fungsi menjadi lahan bisnis dan gedung.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, setiap daerah ditargetkan memiliki 30 persen RTH, dengan peruntukan sebesar 20 persen RTH publik dan 10 persen RTH private.

“Kita lihat RTH di Kota Bekasi masih jauh untuk memenuhi kuota 30 persen sesuai peraturan. Kondisi ini terjadi akibat pembangunan dan alih fungsi tanpa memperhatikan aturan yang dibuat,” ungkap Puput TD Putra, Ketua Umum DPP Koalisi Indonesia Lestari (KAWALI) kepada Radar Bekasi, Rabu (21/10).

Puput sapaan akrabnya mengaku, Pemerintah Kota Bekasi perlu melakukan penataan ulang dan audit lingkungan agar capaian RTH 30 persen bisa terealisasi. Ia menilai lambannya ketersediaan RTH di Bekasi karena ketidaktegasan dari pemerintah daerah itu sendiri.

“Selain alih fungsi menjadi gedung, ada juga alih fungsi pemanfaatan Hutan Kota. Harusnya dengan keterbatasan yang ada, pemerintah bisa tegas menyikapi hal itu,” ucapnya.

Ia mencontohkan, seperti pengembangan kawasan kuliner, gedung dan fasilitas lainnya menggunakan lahan RTH. Dan itu harus dievaluasi dan ditata kembali.

Sebab, alih fungsi tersebut bertentangan dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Bekasi.

“Kita melihat ini kelalaian pemerintah, bisa jadi ada pejabat yang menggunakan kekuasaannya sehingga membolehkan alih fungsi lahan RTH terjadi tanpa melihat pertimbangan lain. Berpikirnya perspektif bisnis semata. Ini harus dievaluasi,” pintanya.

Selain itu, ia menyampaikan, investasi demi kemajuan daerah itu penting, asal tidak mengganggu kepentingan lingkungan. Sehingga, antara investasi dan lingkungan bisa sejalan. Dirinya menegaskan, jangan sampai investasi digenjot tetapi lingkungan rusak, sehingga berimbas kepada banyak orang dan lingkungan sekitar.

Dia meminta, Wali Kota Bekasi tegas dan menindak pejabat pelanggar kewenangan. Harus ada teguran dan sanksi administrasi sampai ke pemecatan.

“Kalau dari perspektif lain, seperti industri, apartemen, perhotelan, kawasan kuliner, harusnya itu dicabut izinnya. Kalau masih nakal, ya pidana jatuhnya,” ungkapnya.

Dirinya pun meminta, Pemerintah segera melakukan evaluasi kembali, menata, mengaudit dan mengembalikan fungsi agar capaian RTH 30 persen terpenuhi di Kota Bekasi.

“Untuk memenuhi kebutuhan 30 persen, saya kira masih memungkinkan, asal pemerintah mau menata, mengaudit lingkungan dan mengembalikan fungsi lahan RTH yang tadinya terpakai oleh aktivitas lain,” tutupnya.

Sementara, Ketua Komisi II DPRD Kota Bekasi, Arif Rahman Hakim mendorong pengembalian alih fungsi lahan ruang terbuka hijau atau RTH, guna memenuhi kuota 30 persen sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan.

Ketersediaan RTH di Kota Bekasi terbilang minim. Bahkan, dari pemenuhan target sebesar 30 persen, baru terpenuhi 12 hingga 14 persen. Karena itu, ia mengimbau agar Wali Kota Bekasi mengembalikan alih fungsi RTH sebagaimana mestinya.

“Kita akui RTH Kota Bekasi kurang dari 30 persen. Banyak yang dipakai, yang disewa, atau sekarang beralih fungsi, ini yang akan kita kaji lagi,” ucap Arif.

Kemudia, ia juga mengatakan, alih fungsi RTH menjadi lahan komersil atau digarap pihak swasta yang dapat merugikan lingkungan. Apalagi, Kota Bekasi merupakan daerah rawan banjir, sehingga membutuhkan lahan resapan yang memadai berdasar ketentuan.

“Kalau ada pemanfaatan RTH bekerjasama dengan Pemerintah Kota Bekasi, kita akan lihat bentuk perjanjiannya dan masa berlakunya. Semua harus dikembalikan lagi ke fungsi asalnya. Salah satunya alih fungsi lahan di Hutan Kota yang dikerjasamakan dengan pihak swasta, itu akan kita kaji lagi, begitupun yang lainnya. Yang memakan sebagian Hutan Kota, bangunan di garis sepadan sungai dan jalan, serta lahan resapan lain dapat merugikan lingkungan,” paparnya.

“Saya berharap ada keterbukaan dari BPKAD sebagai instansi pencatat asset daerah, mana saja RTH milik pemerintah. Ini menjadi penting, apalagi sebentar lagi sudah musim hujan, dimana kita membutuhkan lahan resapan air yang lebih banyak,” tambahnya

Untuk memenuhi kebutuhan 30 persen, dirinya sependapat dengan pernyataan Lembaga Koalisi Indonesia Lestari (KAWALI), bahwa Pemerintah Kota Bekasi harus secara tegas mengembalikan fungsi lahan terbuka hijau yang berubah peruntukannya.

Apalagi, Pemerintah Kota Bekasi sedang dalam fase keuangan yang tidak stabil. Sehingga tidak memungkinkan membebaskan lahan guna memenuhi RTH sebesar 30 persen.

“Keuangan saat ini sedang tidak stabil, kalau kita beli lahan untuk memenuhi RTH 30 persen kan tidak mungkin. Karena itu, kita akan mencari mana lahan milik pemerintah yang dikerjasamakan. Kalau memang disewakan, maka berapa lama kerjasamanya, kita lihat waktu selesainya. Kalau yang dikomersilkan, nah ini kan yang jadi masalah,” tegasnya.

Hal senada dikatakan Anggota Komisi II DPRD Kota Bekasi, Alimuddin. Ia mengingatkan pemerintah lebih selektif dalam melakukan alih fungsi ruang terbuka hijau seperti menjadi tempat kuliner dan lainnya.

“Setahu saya alih fungsi RTH menjadi tempat tertentu harus ada rotasi. Sebagai pengganti agar tidak berkurang. Jika hanya alih fungsi saja itu menyalahi prosedur,” ungkap dia.

Dinas Tata Ruang (Distaru) Kota Bekasi harusnya memperhatikan fasos dan fasum di Kota Bekasi dalam ketersediaannya.

Jangan dikemudian hari mengaku sulit menyediakan RTH, tetapi yang ada malah dikurangi, bukan menambah. Dijelaskanya, RTH merupakan suatu kebutuhan penyeimbang antara pembangunan dan lingkungan. Sehingga eksekutif harus memperhatikan hal tersebut.

“Pembangunan penting, tapi tidak pembangunan fisik saja digenjot tanpa memperhatikan lingkungan. Karena lingkungan juga prioritas sebagai penyeimbang alam,” terangnya.

Sementara Kepala UPTD Hutan Kota, Anto Sugiarto, mengakui kawasan yang saat ini menjadi tempat wisata kuliner oleh pihak swasta adalah lahan milik hutan kota yang berfungsi sebagai ruang terbuka hijau.

“Saya tidak tahu menahu soal kawasan hutan kota yang dijadikan kawasan wisata kuliner oleh pihak swasta tersebut. Pokoknya sudah ada MoU kerjsama, itu saja,” jelasnya.

Terpisah, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Islam 45 (Unisma), Adi Susilo turut menyoroti soal kebijakan alih fungsi beberapa lahan milik pemerintah untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Bekasi yang menjadi lokasi bisnis. Ia mengatakan Pemerintah Kota Bekasi kurang memperhatikan peraturan.

“RTH itu kebijakan jangka panjang, jadi karena jangka panjang, sepertinya kurang memperhatikan. Kaya gak penting padahal dampaknya ke depan. Kalau nanti lingkungannya rusak kan bahaya,” ujar Kaprodi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan politik UNISMA, saat dikonfirmasi, Rabu (21/10).

Adi sapaan akrabnya mengatakan, jika benar lokasi wisata Kuliner yang ada di Jalan A Yani, mengambil areal Hutan Kota. Maka itu menyalahi peraturan. Harusnya, hal itu tidak terjadi, sekalipun dimanfaatkan, harus didesain sedemikian rupa tanpa mengurangi fungsi RTH sebagai paru lingkungan perkotaan.

Kebijakan RTH 30 persen, masih dianggap remeh oleh pemerintah daerah. Hal tersebut karena dampaknya tidak terjadi sekarang, tapi sepuluh tahun kemudian.

“Sepertinya banyak yang tak peduli tentang kebijakan RTH 30 persen. Nanti terasa jika Kota Bekasi tidak mampu menghadapi perubahan iklim. Seperti sekarang soal La Nina salah satunya disebabkan karena daya dukung lingkungan sudah tidak memadai,” terangnya.

Diakuinya, Kota Bekasi belum memiliki tempat berkumpul yang nyaman seperti Jakarta ada Monas, atau pun di Bandung yang disediakan pemerintah. Di Kota Bekasi adanya pihak swasta.

“Kalau wisata kuliner itu memakan hutan kota tentu menyalahi. Padahal dulu konsepnya, areal Gor Candrabhaga yang kosong akan dijadikan working atau tempat kerja bersama,” tukasnya.

Menyoal wisata kuliner yang menyaplok sebagian hutan kota, ia mendesak Pemerintah Kota Bekasi merelokasi ke tempat yang strategis.

“Ya di evaluasi saja, relokasi (wiskul) ke tempat yang tidak mengangu RTH. Kan jelas Kota Bekasi RTH kurang dan belum mencapai 30 persen,” pungkasnya.

Sementara, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Bekasi, Supandi Budiman ketika coba dikonfirmasi belum memberikan pernyataanya terkait adanya dugaanpenyusutan lahan RTH di Kota Bekasi. (pay)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin