Berita Bekasi Nomor Satu
Opini  

Delusi Rumor Tersangka di KPK Bentuk Nalar Stereotypical

Oleh: Naupal Al Rasyid, SH., MH

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Dengan adanya pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua UU KPK, maka keberadaan KPK merupakan wujud respon hukum masyarakat yang dilegitimasikan Negara, agar KPK mampu memerankan lebih representatif untuk memerangi korupsi yang semakin kompleks.
Hal ini disebabkan, karena KPK memiliki kewenangan tambahan, yaitu dapat mengambil alih perkara korupsi, walaupun sedang ditangani oleh Kepolisian atau Kejaksaan, (Pasal 8 ayat (2) UU KPK), akan tetapi, pengambilalihan perkara korupsi tersebut harus dengan alasan yang diatur dalam Pasal 9 UU KPK.
Selain kewenangan untuk mengambil alih perkara korupsi, ada hal lain yang menjadi kewenangan KPK, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 6, Pasal 9, Pasal 11 dan Pasal 50 UU KPK.
Tindakan KPK melakukan proses penyidikan dan dasar penetapan tersangka secara imperatif, berdasarkan bukti permulaan yang cukup dan tidak dengan cara kesewenang-wenangan atau abuse of power yang dapat melanggar hukum serta juga mengarah pada pelanggaran HAM, karena sejak penetapannya sebagai tersangka, berakibat hilangnya sejumlah hak sipil dan politik seseorang.

KPK yang juga diberi kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan, terdapat wewenang-wewenang (rechts bevoegdheden) yang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintahan (besluit).

Pengertian konsep kewenangan yang dikemukakan H.D Stoud (Salim, 2014) di atas, terkandung dua unsur kewenangan, yaitu: Pertama, adanya aturan hukum.

Sebelum kewenangan itu dilimpahkan kepada institusi yang melaksanakannya, maka terlebih dahulu harus ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, apakah dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah maupun aturan yang lebih rendah tingkatannya.

Kedua, sifat hubungan hukum. Sifat yang berkaitan dan mempunyai sangkut paut atau ikatan serta pertalian berkaitan dengan hukum, hubungannya bisa bersifat publik atau privat.

Sedangkan menurut F.A.M Stroink, kewenangan berdasarkan hukum publik adalah, kemampuan yuridis dari badan. Wewenang publik itu dapat bersifat ketatanegaraan (staatsrechtelijk bevoegdheid) maupun administratie (administratief bevoegdheid).

Wewenang yang bersifat ketatanegaraan, merupakan wewenang yang diberikan dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga negara, sedangkan wewenang yang bersifat administratif, diberikan dan dilaksanakan oleh organ administrasi atau pemerintahan.

Selanjutnya dijelaskan oleh F.A.M Stroink dan J.G Steenbeek, bahwa kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi (het begrip bevoegdheid is en ook een lembergrip in het Staats en administratief recht). (F.A.M Stroink dan J.G Steenbeek, 1985).

Sehubungan dengan masalah kewenangan KPK melakukan penyelidikan, penyidikan dan penetapan tersangka, menurut Barda Nawawi Arief (2007), bahwa dilihat dari aspek kebijakan hukum pidana (penal policy), sasaran dari hukum pidana tidak hanya mengatur perbuatan warga masyarakat pada umumnya, tetapi juga mengatur perbuatan hukum (dalam arti “wewenang atau kekuasaan penguasa atau aparat penegak hukum).

Selanjutnya, bahwa pembatasan dan pengawasan atau pengendalian kekuasaan negara merupakan dimensi yuridis, yang sesungguhnya dari hukum pidana tugas yuridis dari hukum pidana bukanlah “mengatur masyarakat” tetapi mengatur “ penguasa.

Dengan demikian, KPK yang diberi kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan, dalam kebijakan hukum pidana pada hakekatnya mengandung kebijakan mengatur atau mengalokasi dan membatasi kekuasaan, baik kekuasaan atau kewenangan warga masyarakat pada umumnya maupun kekuasaan atau kewenangan penguasa.

Jika dilihat dari Pasal 38 ayat (1) UU KPK dan penjelasannya, ditegaskan bahwa segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penetapan tersangka yang diatur dalam KUHAP, seperti kewenangan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat dan penerapan upaya paksa sebagai suatu tindakan hukum, yang dilakukan oleh penegak hukum dalam lingkup tugas dan tanggung jawabnya, berdasarkan peraturan yang berlaku dan membatasi hak seseorang.

Proses pelaksanaan penetapan tersangka, penegak hukum terikat oleh suatu prosedur. Prosedur adalah, proses berdasarkan aturan-aturan baku yang sah. KUHAP telah menempatkan tersangka atau terdakwa dalam posisi his entity and dignity as human being, yang harus diperlakukan sesuai dengan nilai luhur kemanusiaan, dan dalam pelaksanaan penegakan hukum, hak asasi manusia yang melekat pada diri tersangka atau terdakwa, harus tetap terjaga (Iwan Anggoro Warsito, 2015).

Berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penetapan tersangka serta penerapan upaya paksa sebagai suatu tindakan hukum pada KPK.

Selanjutnya, KPK berdasarkan Pasal 42 UU KPK, berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi, yang dilakukan penetapan tersangka oleh KPK, dengan dasar penetapan tersangka yang dilakukan adanya bukti permulaan yang cukup.

Hal ini, diatur dengan ketentuan Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14 jo. Penjelasan Pasal 17 KUHAP, yang menyatakan: Pasal 1 angka 2 KUHAP, “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dengan bukti itu membuat terang tindak pidana terjadi guna menemukan tersangkanya”.

Pasal 1 angka 14 KUHAP, “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”.

Penjelasan Pasal 17 KUHAP, yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 14.

Pasal ini menunjukkan, bahwa penetapan tersangka oleh KPK tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana korupsi.

Seperti telah dikemukakan di atas, asas due of process of law lebih berakar dalam Due Process Model yang mengarah pada Adversary System yang mempunyai ciri khas adanya perlindungan terhadap hak asasi seorang tersangka maupun terdakwa, dan menjunjung tinggi asas presumption of innocence.

Menurut Prof. Eddy O.S. Hiariej (2012), karakteristik Due Process Model antara lain menolak efisiensi, mengutamakan kualitas dan presumption of innocence, sehingga penting dengan tujuan menghindari penjatuhan hukuman kepada orang yang tidak bersalah.

Pada prinsipnya, Due Process Model adalah suatu negative model yang menegaskan, perlunya pembatasan atas kekuasaan dan cara penggunaan kekuasaan oleh KPK, dalam tahap penerapan dan pemeriksaan upaya paksa tersebut.

Bahwa terkait dengan penetapan tersangka korupsi oleh KPK, dengan bukti permulaan yang cukup, adalah sesuai dengan asas due of process dalam penegakan hukum. Penetapan Tersangka yang dilakukan oleh KPK dengan ketentuan Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14 jo.

Penjelasan Pasal 17 KUHAP telah sesuai dengan prosedur dan ketentuan-ketentuan dalam hukum acara yang berlaku. Hal ini tidak menimbulkan kesewenang-wenangan dan merampas hak asasi yang dimiliki oleh Tersangka di KPK.

Sebagai konsekuensi logis dari asas due of process of law ini, maka dirumuskan lebih luas dan jelas daripada konsep due process of law adalah proses hukum yang benar atau adil, yang merupakan prinsip hukum acara pidana di Indonesia.

Hukum acara dirancang untuk memastikan proses hukum yang adil dan konsisten, yang biasa disebut dengan due process of law, untuk mencari keadilan yang sebenarnya dalam semua perkara, yang diproses sebagai kewenangan KPK melakukan penyelidikan, penyidikan dan penetapan tersangka sampai ke pengadilan.

Dengan rumusan ini, tidak boleh ada diskriminasi dalam hukum atau tidak boleh bertentangan dengan hukum dan undang-undang, dan bertentangan dengan hak asasi tersangka.

Dengan demikian, sebuah tindakan KPK melakukan proses penyidikan dan dasar penetapan tersangka, harus selalu menjunjung asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) bagi seseorang atau warga negara yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana.

Menurut M. Yahya Harahap (2010), tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subyek, bukan obyek. Bukan manusia tersangka yang diperiksa.

Perbuatan pidana yang dilakukan seseorang menjadi objek pemeriksaan ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah, sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Terlepas dari sekurang-kurangnya, tindakan KPK melakukan proses penyidikan dan dasar penetapan tersangka, dinilai telah sesuai dengan asas due of process dalam penegakan hukum dan sesuai dengan prosedur dan ketentuan-ketentuan dalam hukum acara yang berlaku, serta tidak menimbulkan kesewenang-wenangan dan merampas hak asasi yang dimiliki oleh tersangka di KPK.

Akan tetapi, terjadi bentuk salah nalar, dalam wujud generalisasi atau stereotip, yang sangat sering terjadi dalam tindakan KPK, melakukan proses penyidikan dan dasar penetapan tersangka, ada beberapa corak berpikir salah atau salah nalar, yang dapat menghasilkan kalimat-kalimat yang tidak dapat diterima akal sehat atau tidak logis.

Corak yang dapat menyebabkan salah nalar, diantaranya adalah dalam wujud generalisasi atau stereotype. Stereotip atau stereotypical, adalah sebuah persepsi yang bersifat menyamaratakan gambaran-gambaran perilaku dari orang-orang tertentu, berdasarkan keanggotaannya dalam sebuah identitas atau kelompok budaya.

Singkatnya, stereotip mencari gambaran tentang individu yang berkaitan dengan sekelompok budaya. Stereotip dapat muncul dalam dua jenis, negatif dan positif. Stereotip negatif biasanya, muncul e kesalahpahaman dalam mengidentifikasi gambaran sebuah identitas yang akibatnya dapat menimbulkan persoalan atau bahkan konflik.

Sebagian beranggapan, bahwa segala bentuk stereotip adalah negatif. Namun stereotip tidak sepenuhnya akurat, biasanya hanya sedikit yang benar. (Samovar, 2010).

Stereotypical muncul bisa jadi karena ketakutan individu terhadap individu, atau kelompok lainnya, tanpa melihat kenyataan yang sebenarnya. Sehingga perbuatan tindak pidana korupsi yang dilakukan penetapan tersangka, dihubungkan dengan KPK secara imperative, berdasarkan bukti permulaan yang cukup dan tidak dengan cara kesewenang-wenangan, atau abuse of power yang diatur dengan ketentuan Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14 jo.

Penjelasan Pasal 17 KUHAP. Maka dapat dimengerti, tindakan KPK bukanlah sesuatu nalar stereotypical yang merupakan citra terhadap individu atau kelompok yang berupa deskripsi, dan biasanya dianggap overgeneralisasi. (*) Direktur LBH FRAKSI ’98

 


Solverwp- WordPress Theme and Plugin