Berita Bekasi Nomor Satu
Bekasi  

Mahasiswa tak Wajib Buat Skripsi

Kebijakan Diserahkan ke Setiap Kampus

ILUSTRASI: Sejumlah mahasiswa Universitas Krisnadwipayana mengikuti kegiatan perkuliahan di kelas. Sejumlah perguruan tinggi swasta yang menerapkan program MBKM kesulitan dalam mengonversi nilai matkul mahasiswa. ISTIMEWA

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Tugas akhir berupa penelitian ilmiah dinilai sudah tidak relevan bagi mahasiswa program sarjana dan sarjana terapan, mahasiswa tidak lagi wajib menulis skripsi, tesis maupun disertasi sebagai syarat kelulusan. Namun, jika kemerdekaan untuk menentukan tugas akhir yang diberikan seolah-olah Aji Mumpung bagi Perguruan Tinggi (PT) dan mahasiswa, mutu lulusan akan terancam, bahkan dianggap sama dengan Sekolah Menengah Atas atau Kejuruan (SMA/K).

Stress akibat judul skripsi ditolak, penelitian tidak berjalan lancar, hingga revisi berulang-ulang kerap terdengar dari mulut mahasiswa tingkat akhir. Munculnya alternatif tugas akhir berupa prototipe, proyek, dan bentuk lain yang bisa dikerjakan oleh individu maupun kelompok nampaknya akan mengurangi keluhan tersebut.

Ditengah kebebasan yang diberikan kepada tiap Program Studi (Prodi), PT harus benar-benar memperhatikan penjaminan mutu jika tidak ingin kualitas lulusannya turun. Bagaimanapun, aspek berpikir kritis dan analitis tetap dibutuhkan bagi seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi.

Salah satu mahasiswa yang saat ini menginjak semester sembilan, Muhammad Fajar (22) menyambut baik kebijakan ini. Bagi dia, kualitas mahasiswa tidak bisa dinilai hanya dengan skripsi yang ditulis, ada cara lain, termasuk yang digagas oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim.

Selama menjadi mahasiswa, ia mengaku banyak mendengar keluhan perihal skripsi, mulai dari proses penulisan hingga gagal di hadapan dosen penguji. Bahkan, ia mengaku belum mengetahui tujuan tugas akhir penulisan karya ilmiah tersebut selain menjadi syarat kelulusan.

“Yang saya tau hanya hasil dari penelitian ini untuk mencari sesuatu, dan selanjutnya hasil skripsi tersebut hanya untuk pajangan,” katanya, Rabu (30/8).

Meskipun bukan penulisan skripsi yang dijadikan sebagai tugas akhir, Fajar meyakini mutu lulusan PT tidak turun lantaran diberikan kebebasan sesuai dengan bakat, serta ilmu yang didapat selama proses perkuliahan.

Terlebih jika berkelompok, mahasiswa akan menghasilkan program-program besar, bekerjasama untuk memberikan karya terbaik mereka untuk lulus.”Karena ketika mahasiswa tidak mampu lulus dengan program tugas akhir ini, maka dipertanyakan kembali kepada mahasiswa tersebut, dipertanyakan tentang apa yang didapat selama menjadi mahasiswa,” tambahnya.

Berbeda dengan Fajar, mahasiswa lainnya, Asep Riandi (21) menilai skripsi merupakan hal penting untuk menentukan kelulusan. Pasalnya, penulisan skripsi ini telah melalui proses penelitian ilmiah terhadap suatu permasalahan, memiliki tujuan dan bermanfaat.

Meski diakui sempat terkejut mendengar keluhan mahasiswa seputar penulisan skripsi. Namun, ia meyakini proses analisis dan penulisan karya ilmiah ini adalah wujud nyata dari ilmu yang telah didapat selama proses belajar di PT.

“Jika dosen memaparkan dengan cara yang mudah dan tidak mempersulit dalam metode ajarnya, dan mahasiswa kerap mengasah diri, tentunya bukan hal yang sulit lagi,” ungkapnya.

Bagi Asep, yang relevan untuk menunjukkan mutu lulusan PT adalah skripsi. Pasalnya, proses penulisan skripsi ini diyakini akan membentuk cara berpikir yang terstruktur.

Tugas akhir lain di luar penulisan skripsi bukan sepenuhnya hal baru. Ketua Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Bekasi, Wawan Hermawansyah mengatakan bahwa sudah ada beberapa PT swasta yang menyediakan alternatif penyelesaian studi S1, skripsi dan non skripsi atau ujian komprehensif.

Sebagai dosen, Wawan menilai apa yang disampaikan dan diputuskan oleh Mendikbud Ristek dalam Permendikbud Ristek nomor 53 tahun 2023 sangat relevan untuk situasi saat ini, dimana pencapaian lulusan PT dapat tersalurkan di dunia kerja.

Selain itu, beberapa pihak juga berpendapat bahwa skripsi menjadi beban psikologis bagi mahasiswa.

“Seolah-olah kuliah itu hanya di skripsi. Jadi sekarang diberikan kebebasan kepada perguruan tinggi untuk melakukan sebuah tolak ukur, parameter untuk menentukan persyaratan kelulusan,” paparnya.

Wawan juga membuka fakta di lapangan yang terjadi selama ini, dimana masih dijumpai lulusan sarjana menganggur akibat tidak sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, tidak bisa bersaing dengan angkatan kerja yang memiliki skill. Disamping itu, terdapat mahasiswa yang memahami secara praktis bidang keilmuan sesuai penjurusan, namun tidak mengerti bagaimana struktur atau metode penulisan yang baik.

Dengan lebih aplikatif, Wawan meyakini khalayak luas akan mampu menilai kualitas lulusan masing-masing PT. Hal ini, disebut jauh lebih penting dibandingkan dengan persyaratan kelulusan di ruang sidang skripsi.

“Jadi masing-masing perguruan tinggi saat ini sudah tidak lagi berpikir secara normatif. Tapi perguruan tinggi harus berfikir secara kebutuhan market, kebutuhan industri,” ungkapnya.

Tapi, ia menekankan bahwa kebebasan yang diberikan kepada PT ini jangan dijadikan Aji Mumpung, baik oleh PT maupun oleh Mahasiswa. Penjaminan mutu yang ditekankan dalam Permendikbud Ristek nomor 53 tahun 2023 harus benar-benar menjadi pondasi semua penyelenggara pendidikan, mulai dari yayasan, pimpinan perguruan tinggi, maupun staf dibawahnya.

Penjaminan mutu disebut harga mati, mutu harus dijaga sejak awal proses perkuliahan mahasiswa. Tidak dipungkiri, dalam perjalanannya akan terdapat PT yang memanfaatkan kemerdekaan ini, lambat laun akan dinilai oleh publik.

Begitu juga bagi dosen, mesti mengerti betul bakat yang ada di dalam tiap-tiap mahasiswa, sehingga tidak dianggap sama rata.”Jadi sekarang bolanya itu ada di Prodi, ada di akademik. Bisa saja nanti pada saat perjalanan ada kampus yang mungkin dengan proses kelonggaran ini, proses akademiknya itu (dikesampingkan) karena diperbolehkan. Mental penelitiannya tidak muncul sama sekali,” tambahnya.

Rektor Bina Insani University, Indra Muis menyebut Permendikbud Ristek nomor 53 disebut memberikan dampak baik bagi upaya peningkatan kompetensi lulusan. “Menurut saya (Permendikbud Ristek nomor 53 menjadi solusi) iya. Salah satu permasalahan di dunia pendidikan tinggi saat ini adalah soal luaran riset yang tidak menghasilkan produk yang bernilai komersial,” katanya.

Dengan aturan tersebut, ranah kognitif lulusan dapat diasah sampai membuat, tidak berhenti sampai menganalisis atau mengevaluasi. Dalam hal ini membuat prototipe produk, atau proyek.

Meskipun, skripsi tetap dinilai memberikan dampak baik. Permendikbud Ristek ini akan diterapkan pada tahun ajaran ini.”Iya, kita berlakukan tahun akademik 2023/2024,” ungkapnya.

Pemberlakukan Permendikbud Ristek ini juga didorong oleh LLDIKTI Wilayah IV, dimana kampus harus mengatur fleksibilitas. Lewat peraturan akademik PT, harus memberikan ruang kepada mahasiswa untuk mengerjakan tugas akhir dalam bentuk prototipe, proyek, atau penulisan skripsi.

“Sangat bergantung pada Passion mahasiswa, kemudian kebutuhan. Tapi kalau mahasiswa karena mau penelitian dan mau menuliskannya dalam bentuk skripsi juga tidak masalah,” kata Kepala LLDIKTI Wilayah IV, M Samsuri.

Proyek dalam tugas akhir ini kata Samsuri, contohnya penanganan kemiskinan, membangun desa, penanganan stunting, hingga kewirausahaan, yang terpenting bisa dipertanggungjawabkan.

Dalam penerapannya, beberapa hal mesti diperhatikan oleh PT, yakni prototipe atau proyek harus bermanfaat bagi mahasiswa, sesuai dengan Passion, serta kebutuhan dunia nyata.

Sebelumnya, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim menjelaskan, ada dua hal fundamental dari kebijakan ini yang memungkinkan transformasi pendidikan tinggi melaju lebih cepat lagi. Yakni, standar nasional pendidikan tinggi yang lebih memerdekakan, serta sistem akreditasi pendidikan tinggi yang meringankan beban administrasi dan finansial perguruan tinggi.

Terkait standar nasional, Nadiem menegaskan, bahwa kini standar nasional perguruan tinggi ini tidak lagi bersifat preskriptif dan detail. Namun, berfungsi sebagai pengaturan framework. Sehingga, ada keleluasaan untuk beradaptasi sesuai kemauan perguruan tinggi.

Dia mencontohkan, salah satunya mengenai penyederhanaan standar kompetensi lulusan. Sebelumnya, kompetensi sikap, pengetahuan umum, dan keterampilan umum dijabarkan terpisah dan secara rinci. Mahasiswa sarjana atau sarjana terapan wajib membuat skripsi. Kemudian, magister pun wajib menerbitkan makalah di jurnal ilmiah terakreditasi. Begitu pula mahasiswa kedokteran yang wajib menerbitkan makalah di jurnal internasional bereputasi.

Menurutnya, menjadikan skripsi hingga disertasi sebagai satu-satunya cara menunjukkan kompetensi sudah tidak relevan lagi di zaman sekarang. Apalagi, untuk pendidikan vokasi. ”Apakah yang mau kita tes kemampuan dia menulis skripsi atau implementasi project dilapangan?,” ungkapnya dalam peluncuran Merdeka Belajar Episode-26 secara daring.

Selain itu, kata dia, penentuan ini tak lagi berada di tangan Kemendikbudristek. Melainkan, kepala program studi untuk bisa menentukan bagaimana cara mengukur standar kelulusan mereka. ”Dan tugas akhir ini bisa berbentuk prototipe, bisa proyek, bisa berbentuk lainya. Tidak hanya berbentuk skripsi, tesis, dan disertasi,” tuturnya.

Meski begitu, Nadiem menegaskan, bahwa hal ini tak berarti skripsi dihapus atau tak bisa digunakan sebagai cara mengukur standar kelulusan. ”Tetap bisa tapi keputusan ini ada di tangan perguruan tinggi,” sambungnya.

Ketentuan detail mengenai hal ini tertuang Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Pada Pasal 18 angka 9 huruf b disebutkan bahwa penerapan kurikulum berbasis proyek atau bentuk pembelajaran lainnya yang sejenis dan asesmen yang dapat menunjukkan ketercapaian kompetensi lulusan.

Kemudian, pada pasal 19, dijelaskan bahwa mahasiswa magister/magister terapan juga bisa diberikan tugas akhir dalam bentuk tesis, prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lainnya yang sejenis. Namun, tidak perlu menerbitkan jurnal internasional.

Sementara, mengenai sistem akreditasi pendidikan tinggi, Nadiem menyampaikan, ada berapa pokok perubahan juga nantinya. Adapun perubahan ini menyangkut status akreditasi yang disederhanakan; biaya akreditasi wajib yang sekarang ditanggung pemerintah; dan proses akreditasi yang dapat dilakukan pada tingkat unit pengelola program studi.

”Perubahan tidak dapat dilakukan tanpa kolaborasi seluruh pihak, Kemendikbudristek bersinergi dengan seluruh pemangku kepentingan untuk mewujudkan transformasi pendidikan tinggi yang menyeluruh dan berdampak positif,” tuturnya. (sur/mia)

 


Solverwp- WordPress Theme and Plugin