Berita Bekasi Nomor Satu

Kurangnya Pengawasan Orangtua Terhadap Anak Picu Tindak Asusila   

Ilustrasi.

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Kurangnya pengawasan orangtua terhadap anak merupakan penyebab meningkatnya tindak asusila. Pelaku sering kali dikenal oleh korban dan modusnya melibatkan iming-iming mainan atau jajanan.

Salah satu contoh kasus yang dialami siswa Sekolah Dasar (SD) di Kota Bekasi belum lama ini, tentu harus menjadi perhatian berbagai stakeholder terkait, khususnya orang tua.

Pengamat Pendidikan Kota Bekasi, Tengku Imam Kobul Mohamad Yahya, menilai bahwa pendidikan sebagai penyebab menciptakan “manusia robot” yang kehilangan integrasi antara berpikir dan merasa.

“Dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya sering kali tidak begitu. Sering kali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada,” ujar Imam.

“Saya katakan demikian, karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi,” ucap Imam.

Menurutnya, belajar tidak hanya berpikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat, dan sebagainya.

BACA JUGA: Polres Metro Bekasi Selidiki Pelaku Dugaan Asusila Siswi SD di Harapan Jaya

“Hal yang sering disinyalir adalah, pendidikan sering kali dipraktikkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai,” terangnya.

Imam meminta agar pemerintah fokus bagaimana mencegah kekerasan dan asusila di lingkungan pendidikan, termasuk cara anak berpakaian serta memantau kegiatan anak.

“Sekarang ini yang harus dibutuhkan adalah mencegah berbagai aksi kekerasan, asusila, termasuk perundungan (bullying) di sekolah,” imbuh Imam.

Tidak hanya itu, Dinas Pendidikan (Disdik) setempat juga harus dapat mengubah pola pengawasan, yaitu dengan sistem penilaian rapor yang dapat dilakukan satu minggu sampai satu bulan sekali.

“Metode pengawasannya bisa dilakukan lebih baik lagi, yaitu melakukan evaluasi nilai rapor. Jangan lagi setiap enam bulan sekali, kalau bisa satu minggu sekali dilakukan evaluasi dan diskusikan bersama dengan orang tua siswa,” ungkapnya.

Sementara, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bekasi, Novrian. Menurutnya, jika tindakan asusila yang dilakukan terhadap anak, biasanya ada faktor yang mempengaruhi pelaku.

“Pendidikan saat ini tidak lagi berdasarkan kebutuhan anak, karena yang ada anak bawa buku banyak, belajar sesuai dengan target pencapaian. Tidak dipikirkan bagaimana mental anak, memberatkan atau tidak, menjadi beban atau tidak,” bebernya.

Dengan kemajuan teknologi yang cukup pesat, guru seharusnya berpikir bagaimana mempersiapkan perkembangan siswa. Jangan sampai menjadi korban teknologi.

Lanjut Novrian, pihaknya pernah menanyakan kepada sejumlah siswa tingkat SD, apa saja yang sudah pernah ditonton melalui gawai jawabannya sangat mengejutkan.

“Saya pernah tanya ke beberapa siswa, apakah pernah melihat konten-konten yang tidak boleh ditonton?, beberapa menjawab sudah. Ini yang harus jadi perhatian agar orang tua di rumah menyaring banyaknya media-media yang berbahaya untuk dilihat oleh anak-anak,” imbuhnya.

Sedangkan Kepala Bidang Pendidikan Tenaga Kerja (PTK) Disdik Kota Bekasi, Wijayanti menerangkan, bahwa saat ini pihaknya tengah fokus pengembangan kinerja sekolah dalam penanganan kekerasan anak.

Saat ini Disdik Kota Bekasi sendiri tengah mensosialisasikan program Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di seluruh satuan pendidikan.

Lanjut Wijayanti, dalam pembentukan TPPK ini, sekolah wajib melibatkan unsur guru dan orang tua siswa. Mereka memiliki kewajiban mulai dari preventif sampai dengan rehabilitatif.

“Ini wajib dibentuk pada kasus kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan, dan tentu saja berkoordinasi dengan beberapa stakeholder. Unsur Satgas PPK tingkat Kota Bekasi terdiri atas Disdik, DP3A, Dinsos, Dinkes dan KPAD,” tuturnya.

Disampaikannya, bahwa sudah 100 persen satuan pendidikan memiliki TPPK. Sosialisasi cara kerja TPPK ini sendiri masih dilakukan, baik secara daring maupun luring.

“Kami juga sedang melaksanakan sosialisasi secara hybrid luring dan daring yang melibatkan semua satuan pendidikan, dan sudah dimulai dari minggu lalu. Untuk luring, kami akan mulai di zona 1, yaitu Kecamatan Bekasi Timur, Utara, dan Medan Satria,” tandasnya.

Sosialisasi ini melibatkan DP3A, KPAD, Polri dan psikolog, tentang bagaimana dan seperti apa hal-hal yang harus dilakukan oleh TPPK.

“Jadi tidak hanya dalam bentuk administrasi saja, tapi memang ada kerja nyata yang dilakukan,” ungkap Wijayanti. (dew)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Solverwp- WordPress Theme and Plugin