Berita Bekasi Nomor Satu
Opini  

Kebangkitan atau Kebangkrutan Nasional

Yusuf Blegur, Pekerja Sosial dan Pemikir Rakyat Jelata.
Yusuf Blegur, Pekerja Sosial dan Pemikir Rakyat Jelata.

Pemaknaan dan pencapaian peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang dirayakan saban tahun itu. Kali ini terasa semakin jauh dari apa yang dicita-citakan.

Hari Kebangkitan Nasional yang ditandai dengan lahirnya organisasi pergerakan Budi Utomo pada tahun 1908 dan deklarasi Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Kini seperti jungkir balik baik dalam semangat nilai-nilai maupun dalam implementasi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bagaimana tidak?. Ada perbedaan mencolok dan sangat signifikan ketika suasana kebangkitan nasional saat itu dibandingkan dengan kekinian.

Ada dua hal yang paling fundamen dan pada akhirnya sangat menentukan sejarah perjalanan bangsa kita saat ini dan ke depan. Menjadi nenarik, ketika kita ingin melakukan refleksi sekaligus mengevaluasi ke-Indonesia-an kita.

Pertama, momentum kebangkitan nasional pada saat itu berangkat dari belum adanya rasa kebangsaan yang sama. Warna kerajaan dan kedaerahan begitu kental menyelimuti kemajemukan suku, agama, ras dibelahan bumi nusantara. Keanekaragaman kultural yang ditandai dengan perbedaan adat istiadat dan tradisi menjadi kekayaan sekaligus tantangan menyatukan komitmen kebangsaan.

Lahirnya Budi Utomo dan Sumpah Pemuda saat itu justru menjadi titik tolak kesadaran, dimana rakyat nusantara belum ada komitmen dan konsensus yang mengikat keinginan berhimpun dalam satu kebangsaan. Meskipun jauh sebelum masa itu, sudah ada cikal bakal penyatuan nusantara melalui Sumpah Palapa-nya Gajah Mada.

Kedua, nusantara masih dalam belenggu kolonialisme. Berawal dari perdagangan ekonomi khususnya pencarian rempah-rempah. Melalui serikat dagang Veerenigde Oostandische Compagnie (VOC) bentukan Belanda pada tahun 1602. Belanda mulai mencengkeram nusantara dalam berbagai aspek kehidupan. Kongsi dagang yang mengeksploitasi kekayaan alam terutama rempah-rempah terus berkembang menguasai ekonomi, sosial politik hingga kekuatan militer. Sehingga pada abad 16-17, VOC terus melakukan ekspansi dari nusantara hingga ke asia tenggara yang sempat dikuasai Portugis.

Sejarah itu kemudian mewarnai perlawanan kerajaan nusantara terhadap penjajahan yang menjadi cikal bakal kolonialisme dan imperialisme lama di nusantara. Bahkan hingga Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya dari kekuasaan Jepang, Belanda masih ingin menguasai kembali Indonesia.

Organisasi Budi Utomo dan Sumpah Pemuda itulah yang kemudian menjadi momentum sekaligus spirit dan kekuatan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Sehingga kalau ditarik benang merahnya, sejarah Sumpah Palapa ke kelahiran Budi Utomo hingga Sumpah Pemuda. Ada mata rantai yang tak putus yang mengilhami sekaligus menjadi acuan “The Founding Fathers” (termasuk raja-raja nusantara) dan pemimpin-pemimpin pergerakkan revolusi lainnya dalam merebut kemerdekaan dan merumuskan gagasan NKRI.

Kontradiksi Nasionalisme

Bercermin dari rangkaian historis dan ideologis mulai dari Sumpah Palapa, Budi Utomo hingga Sumpah Pemuda. Begitu juga dengan visi Gajah Mada, Sutomo dkk, M Yamin dkk, hingga Soekarno dkk. Rasanya pantas kebangsaan kita sekarang mengalami langkah mundur yang teramat terbelakang. Pemimpin-pemimpin Indonesia pra kemerdekaan adalah sosok-sosok patriotis. Mereka mampu meramu kepiawaian intelektual dan politik demi cita-cita nasional.

Ketulusan pengabdian, pengorbanan dan kepemimpinan pejuang yang berwatak kerakyatan, mereka tunjukan sebagai syarat mutlak nasionalisme dan patriotisme. Hasilnya idealisme, keringat dan darah serta jiwa raga mereka korbankan hanya untuk mewarisi kemerdekaan dan persatuan negara bangsa Indonesia yang kini bisa dinikmati.

Bandingkan dengan kondisi kekinian. Nilai-nilai itu seakan terasing dan menjadi usang. Apa yang telah diperjuangkan nenek moyang dan para pendiri bangsa, perlahan dihancurkan oleh generasinya sendiri. Apa yang ditentang oleh para pejuang kemerdekaan, kini digandrungi dan dibela habis-habisan oleh generasi penerus kemerdekaan.

Keluhuran budi pekerti dan cita-cita para pahlawan yang dituangkan dalam konsensus NKRI, Panca Sila dan UUD 1945 tergerus dan lambat laun tenggelam oleh tsunami modernitas. Setelah kehilangan karakter nasional bangsa, lemahnya kedaulatan negara dan disorientasi kepemimpinan politik. Indonesia terancam terdegradasi oleh sistem kapitalistik dan liberalisasi global.

Nilai-nilai suci dan adiluhung yang sudah dimiliki bangsa dan menjadi warisan besar nenek moyang. Dihancurkan sendiri oleh karena salah urus tata kelola negara. Bicara NKRI kita terus memelihara benih dan janin perpecahan. Bicara Panca Sila kita sering berbuat mengingkari Panca Sila. Bicara UUD 1945, kita juga sering berjudi merevisi (amandemen UUD 1945) konstitusi dengan syahwat politik dan menegasikan amanat penderitaan rakyat.

Pemimpin dan penguasa berbondong-bondong mengejar materi dan keduniawian. Membidik ekonomi atas nama jabatan dan piawai memainkan politik kekuasaan. Miskin ketrampilan sosial namun berbakat mencuri kepercayaan rakyat, menjadi ciri khas sebagian besar pemangku kepentingan publik itu.

Bangkit Atau Bangkrut

Bicara baik buruknya kondisi bangsa saat ini. Tinggi rendahnya kualitas kehidupan rakyat. Serta hebat atau blangsaknya pemerintahan yang berjalan. Sejatinya, semua itu tidak mutlak mengarah pertanggungjawaban rezim kekuasaan yang berlangsung sekarang semata.

Ambil contoh, bicara tentang kerawanan sosial yang terus memelihara dan memicu disintegrasi bangsa, salah satu faktor penyebabnya ialah sejak berlangsungnya pemilu langsung tahun 2004. Produk hukum dan politik itu, sudah ada jauh sebelum Jokowi memimpin. Begitu juga dengan krisis dunia perburuhan yang mempertaruhkan nasib tenaga kerja dan kesinambungan investasi.

Poin krusial juga ada di UU tahun 2003 tentang kontrak kerja atau perjanjian kerja. Begitu juga yang lebih strategis dan menentukan kehidupan rakyat yang lebih luas. Yakni mengenai pengelolaan kekayaan sumber daya alam. Jokowi hanya pengekor sama halnya dengan semua presiden Indonesia selama era reformasi bergulir.

Pemimpin dan negara sama-sama tak berdaya dalam mengelola kekayaan alam dan juga mewarisi hutang yang terikat perjanjian internasional. Konsekuensi yang dalam dan panjang sejak berlakunya UU penanaman modal asing tahun 1967.

Batapapun kenyataan itu, sesungguhnya seorang Jokowi dapat merekostruksi tatanan nilai lama dan semua kebijakan yang tidak menguntungkan bahkan merugikan negara. Harus ada keberanian mengambil keputusan politik yang berorientasi pada penguatan negara dan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Beberapa sudah dilakukan, misalnya renegoisasi kontrak kerja yang bersifat internasional terkait pengelolaan sumber daya alam, termasuk Free Port.

Selain itu konsisten melanjutkan pembangunan fisik dan infra struktur yang redup dan terbelengkalai di masa kepemimpinan presiden sebelumnya. Namun hal itu juga harus disertai transparansi dan akuntabilitasnya. Mengingat semua itu juga menyerap hutang yang besar dan rawan korupsi. Selebihnya program populis yang lain, biasa saja ada baik juga buruknya. sebut saja sektor pertanian dan perikanan yang masih belum nengangkat kualitas kehidupan para petani dan nelayan.

Pun demikian soal pembagian sertifikat tanah dalam program PTSL kampanye gratis Jokowi dihadapan publik, kenyataannya sebagian besar masyarakat mengurus sertifikat rumah dan tanahnya tetap berbayar setidaknya marak pungli yang merata dan dianggap legal.

Lebih jauh dan diluar semua itu. Masih banyak sekali inkonsistensi Jokowi dalam mengambil kebijakan hukum dan keputusan politik yang berdampak menekan rakyat. Di tengah pandemi global dengan terpaan virus Covid-19, pemerintah selain tidak transparan dan akuntabel, disinyalir penanganan pandemi beraroma bisnis dan komersialisasi fasilitas kesehatannya.

Lebih miris lagi penanganan pandemi dalam bentuk bantuan sosial juga dikorupsi. Tidak tanggung-tanggung pelakunya seorang menteri yang membawahi departemen yang justru harusnya terdepan dan menjadi ujung tombak menghadapi masalah sosial. Rakyat sekarat karena bansos disikat pejabat. Sementara hukuman mati bagi korupsi bansos yang lantang terlontar dari Jokowi terdengar sayup-sayup dan kini nyaris ditelan bumi.

Kehidupan rakyat dalam sektor penting dan strategis lainnya juga cukup memprihatinkan. Pertumbuhan demokrasi dan ekonomi menurun drastis. Berdasarkan analisis dan laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2020. Indeks demokrasi Indonesia mencapai skor terendah. Indeks demokrasi Indonesia peringkat 64 dunia dengan skor 6,3. Sebagian rakyat yang mendapatkan perlakuan repressif menyebut rezim Jokowi otoriter.

Sementara indeks ekonomi periode kuartal 1- 2021 masih terkonstraksi alias negatif. Pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 0, 74 %. Masih jauh dibawah standar.

Dengan kedua kondisi itu, bisa dipastikan akan memengaruhi secara signifikan kualitas kehidupan rakyat Indonesia. Mengingat bahwa sektor ekonomi dan demokrasi menjadi pilar penting dalam pemerintahan dan tata kelola negara.

Jokowi memang seperti berada dalam polemik dan dilematis panjang memimpin pemerintahan. Ia nyaris mengambil langkah dan kebijakan sendiri. Seperti tidak memiliki jajaran pembantu yang kredibel dan kompeten. Aspek keilmuan dan profesionalitas yang gencar digaungkan, ternyata kalah oleh tekanan dan titipan partai politik dalam memilih pembantunya dan aparatur birokrasi strategis lainnya. Jelas terlihat oleh publik kebijakan pemerintahannya melawan kebijakan pribadinya sendiri sebagai seorang presiden dan kepala pemerintahan. Terkesan Jokowi yang suka dan terkenal suka masuk gorong-gorong itu. Kali ini bukan hanya basah, tapi badan dan mukanya ikut terpecik lumpur hitam. Nyaris jatuh dan terjerembab ke kubangan yang dalam. Oleh dorongan dan lumpur hitam pembisiknya dan orang parpol.

Hutang yang menggunung dan membanjirnya tenaga kerja asing, juga mencederai “sense of crisis” dan rasa keadilan masyarakat Di saat resesi ekonomi, stagnasi daya beli masyarakat dan melimpahnya angka pengangguran. Jokowi seakan tak mau tahu. Repressif terhadap rakyatnya terutama yang kritis, namun ramah terhadap kepentingan asing. Arogansi kekuasaan juga semakin ditunjukkan dengan kinerja aparat keamanan yang serampangan yang justru mendobrak norma-norma hukum itu sendiri. Jokowi lebih memaksa menciptakan TNI-Polri sebagai insitusi yang lebih loyal kepada presiden ketimbang kepada rakyat dan negara.

Selama kepemimpinan Jokowi periode keduanya. Jokowi juga semakin mesra dan intim dengan negara China dibandingkan dengan para pemimpin dan ulama yang merepresentasikan umat Islam di Indonesia.

Kalau ini dibiarkan terus, akan semakin menimbulkan celah polarisasi yang negatif pada kehidupan beragama. Sentimen keagamaan dan dan tereduksinya keharmonisan kehidupan bernegara dan berbangsa perlahan muncul dan terkristalisasi. Keadaan demikian juga akan menyuburkan gerakan radikal dan fundamental dari kalangan anti pemerintah. Bukan dari kritikus apalagi dari kekuatan Islam.

Jadi, mumpung masih ada waktu. Silakan Pak Jokowi, teruskan dan berlanjut. Terserah anda sang presiden. Indonesia mau bangkit atau bangkrut? (*)

 


Solverwp- WordPress Theme and Plugin