Berita Bekasi Nomor Satu

Usaha Kuliner Ambruk

Illustrasi Kulineran

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Sejumlah pelaku usaha di Kota Bekasi mengaku bingung dan pasrah terhadap kebijakan pemerintah saat ini. Ketika mereka taat dan bersedia bekerjasama dengan pemerintah dalam mencegah penyebaran Covid-19, namun disisi lain mereka harus rela usahanya merugi. Bahkan, sebagian usaha ada yang tutup tidak beroperasi.

Kamis kemarin tepat hari ke 20 pembatasan ketat aktivitas masyarakat, 18 hari pada masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat, ditambah dua hari berjalan masa PPKM level 4. Kedua masa pembatasan ini memiliki aturan tidak jauh berbeda, pelaku usaha makan minum seperti restoran dan sebagainya tidak diizinkan melayani pelanggan untuk makan ditempat atau Dine in, hanya take away atau dibawa pulang.

Selama kurun waktu tersebut, jika dihitung berdasarkan pendapatan dalam satu hari di situasi normal, maka kerugian yang dirasakan oleh pelaku usaha kecil menengah mencapai Ratusan juta. Hotel sebagai salah satu sektor bisnis tidak lepas dari dampak pembatasan kegiatan masyarakat, okupansi hotel dicatat menurun drastis. Padahal, selama aturan dilonggarkan, yakni selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi hingga PPKM mikro saja okupansi hanya menginjak angka 30 persen.

Paguyuban Pedagang Mie Ayam dan Bakso (Papmiso) Indonesia Kota Bekasi mencatat, tiga warung bakso milik anggotanya terpaksa tutup total. Tiga dari empat warung bakso milik salah satu anggotanya terpaksa ditutup selama PPKM darurat dan PPKM level empat dengan pertimbangan hanya akan memperbesar kerugian yang dialami jika dipaksa beroperasi.

Selama masa pandemi, Papmiso Indonesia mengaku bersedia taat dan bekerja sama menjalankan kebijakan pemerintah dalam menekan angka penyebaran Covid-19. Namun, kesulitan tidak bisa dikesampingkan, saat pendapatan sehari-hari lah yang akan menghidupi ekonomi ia dan anggotanya.

“Pemerintah juga sulit dalam arti menentukan kebijakan, tapi kan pengusaha kecil juga kesulitan untuk income setiap harinya,” terang ketua Apmiso Indonesia, Maryanto, Kamis (22/7).

Selama tidak melayani makan ditempat, 200 anggotanya masih berjualan dengan penurunan pendapatan hingga 80 persen. Salah satu penyebab penurunan pendapatan secara drastis ini lantaran makanan yang dijual tidak bertahan lama dalam kondisi terbungkus, atau dibawa pulang.”Turunnya 80 persen, normalnya bisa dapat Rp7 juta sekarang dapatnya Rp1 juta sampai Rp1,2 juta, itu normal selama PPKM,” tambahnya.

Dengan nilai pendapatan paling besar selama PPKM darurat, Rp1,2 juta, maka dalam satu hari ada Rp240 juta penghasilan hilang pada 200 pedagang mie ayam bakso di Bekasi. Selama 20 hari terakhir pelaku usaha ini harus bertahan dengan pendapatan tersebut, serta tetap membayar gaji karyawan di tiap-tiap warung.

Akibatnya, karyawan belakangan ini digilir, 50 persen bekerja, 50 persen diliburkan secara bergantian. Selain pemilik, karyawan juga terpaksa rela kehilangan pendapatan selama diliburkan.”Dua hari kerja, dua hari libur. Tapi libur itu tetap dikasih makan, dibelikan beras, sayur, telur, yang penting mereka-mereka ini nggak lapar,” tukasnya.

Ia dan anggota hanya berharap situasi akan kembali berpihak, memberikan kelonggaran bagi pelaku usaha. Bahkan memberikan catatan siap untuk memberlakukan protokol kesehatan secara ketat mulai dari jumlah pengunjung, belakangan ia berencana untuk membuat himbauan kepada pengunjung untuk tidak berlama-lama berada di area warung, cukup 30 menit lalu bergegas pergi jika telah diberikan kelonggaran.

Senada juga disampaikan oleh Komunitas Warteg Nusantara (Kowantara), pendapatan para anggota hilang 50 persen. Pemilik warteg harus bertahan dengan pendapatan seadanya selama pembatasan aktivitas masyarakat.

“Penghasilan relatif dari masing-masing Warteg, ada yang omsetnya Rp3 juta, ada yang Rp1 juta, ada yang Rp2 juta. Teman-teman yang laporan ke saya itu, omsetnya hampir separuh berkurang,” terang Koordinator Wilayah (Korwil) Kowantara Bekasi, Tafsir Qosim.

Dari beragam nilai pendapatan yang diterima oleh 73 anggota Kowantara, maka dari rata-rata penghasilan Rp1,5 juta secara total hilang Rp54,75 juta dalam satu hari. Hilangnya pendapatan ini terutama dirasakan oleh pemilik warteg dengan target pasar karyawan perkantoran.

Tidak boleh melayani konsumen untuk makan di tempat dinilai sebagai faktor penyebab hilangnya separuh pendapatan. Meskipun pendapatan berkurang hingga 50 persen, puluhan warteg anggotanya masih tetap beroperasi.

“Mau tidak mau kita harus hormati atau laksanakan keputusan pemerintah, kan tujuannya untuk kebaikan bersama, mengeluh boleh tapi frustasi jangan,” tambahnya.

Sejauh ini tidak terdengar kabar gejolak yang terjadi antara petugas dengan pelaku usaha selama melakukan operasi yustisi. Walaupun demikian, kabar peristiwa bersitegang antara petugas dengan pelaku usaha di beberapa daerah diakui memberi andil kecemasan pada tiap anggota selama PPKM darurat.

Tafsir meyakinkan protokol kesehatan selama ini berjalan di tiap-tiap Warteg anggotanya. Saat ini, ia dan puluhan anggotanya yang lain hanya bisa berharap setelah PPKM level empat, pemerintah kembali memberikan kelonggaran kepada pelaku usaha, terutama kecil dan menengah.

Secara eksplisit, ketentuan PKM darurat tidak mengatur operasional hotel. Namun, didalamnya ada beberapa area publik seperti restoran, sehingga dampak PPKM tidak terkecuali menimpa hotel, termasuk peniadaan resepsi pernikahan yang kerap digelar di hotel.

Tingkat keterisian kamar atau okupansi hotel pada masa PPKM darurat makin turun. Padahal, pada masa-masa kebijakan pemerintah sebelumnya dengan memberikan kelonggaran kepada pelaku usaha sudah membuat manajemen hotel harus berpikir keras memastikan operasional hotel tetap terjaga.

“Turun drastis, terjun bebas untuk huniannya. Sebelumnya 30 persen rata-rata, sekarang bisa 20 persen lebih parah lagi,” terang General Manager Hotel Green Bekasi, Asep Hermawan.

Pada masa ini hanya kamar tidur yang bisa dijual pelayanannya, tidak ada pemasukan dari restoran dan penyewaan ruang meeting. Untuk mempertahankan keterisian kamar pun hanya dari pasien Covid-19 isolasi mandiri, dipilih opsi untuk bekerjasama dengan RS ditengah penuhnya ruang isolasi.

Menjelang akhir tahun 2020 lalu, Asep mengaku biaya sewa kamar selama pandemi ini dibanderol Rp400 ribu, dengan kapasitas kamar seluruhnya 90 unit. Maka, 20 persen atau 18 kamar yang terisi hanya menghasilkan Rp7,2 juta dalam satu hari, berkurang Rp3,6 juta pendapatan pada masa PPKM mikro dengan 27 kamar yang terisi.

Keadaan yang dialami oleh bisnis hotel ini berakibat pada karyawan, dari total 35 karyawan saat ini hanya tersisa 12 orang, lebih dari 50 persen terpaksa dirumahkan. Jika tidak dipilih opsi untuk merumahkan karyawan, Asep pesimis hotel yang pernah menjadi lokasi isolasi pasien OTG Kota Bekasi ini bisa tetap beroperasi.

Manajemen hotel hanya bisa berharap agar PPKM darurat atau PPKM level empat ini tidak lagi mengalami perpanjangan pemberlakuan. Restoran di area hotel saat ini diputuskan untuk hanya beroperasi pada jam makan guna melayani tamu hotel.”Salah satunya (kelonggaran) untuk restoran, sama sekali tidak ada pemasukan lagi,” tukasnya.

Sebelumnya selepas terbitnya Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) tentang PPKM level empat, Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi menilai situasi ini berat untuk perekonomian di wilayahnya. Ia berencana untuk melakukan evaluasi selama lima hari kedepan dalam pelaksanaan PPKM level empat sehingga segera bisa diberikan kelonggaran aktivitas masyarakat.

“Kalau level empat ekonomi kita tidak jalan semua. Yang penting kita nggak ada angka kematian, angka covid bisa kita kendalikan,” ungkapnya. (Sur)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin