Berita Bekasi Nomor Satu

Pencantuman Lambang Negara pada Ijazah Pesantren. FKPP: Ada Dampak Positif dan Negatif

ILUSTRASI: Sejumlah santri pondok pesantren di wilayah Kota Bekasi saat mengikuti perlombaan paduan suara yang diadakan oleh pemerintah setempat. ISTIMEWA

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Kebijakan mengenai pencantuman lambang negara Indonesia burung Garuda pada ijazah pesantren dinilai memiliki dampak positif dan negatif. Aturan ini diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 31 tahun 2020, yang mencantumkan lambang negara pada bagian paling atas ijazah.

Sekretaris Forum Komunikasi Pondok Pesantren (FKPP) Kota Bekasi, Ismail Anwar, menyatakan bahwa pondok pesantren salafiyah mengeluarkan ijazah dalam bahasa pesantren syahadah sesuai dengan logonya masing-masing. Ijazah ini dikeluarkan karena pesantren tidak mengikuti kurikulum yang diatur oleh pemerintah.

“Berkenaan dengan ijazah sebelumnya pondok pesantren salafiyah memang mengeluarkan ijazah dalam bahasa pesantren syahadah sesuai dengan logonya masing-masinh, karena memang pesantren tidak menggunakan kurikulum yang diatur oleh pemerintah,” ujarnya kepada Radar Bekasi, Rabu (8/11).

Pondok pesantren yang memiliki sekolah formal, mulai dari TK, SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi, sudah mengeluarkan ijazah formal dengan menggunakan lambang negara Garuda.

“Tapi bagi Pondok Pesantren yang di dalamnya ada sekolah formalnya, dari TK sampai perguruan tinggi. Ijazahnya udah ngikutin ijazah formal yaitu menggunakan lambang Garuda,” ucapnya.

Menurutnya, pemerintah ingin membantu pondok pesantren, terutama pondok pesantren salafiyah agar memiliki ijazah yang memiliki validitas seperti ijazah formal pada umumnya.

“Pemerintah ingin membantu pondok pesantren khusus nya pondok pesantren salafiyah agar ijazahnya berlaku sebagaimana ijazah formal,” ucapnya.

Saat ini, diketahui jumlah pondok pesantren salafiyah di Kota Bekasi sangat sedikit. Bahkan, beberapa pondok pesantren salafiyah sudah mengikuti program penyetaraan melalui Kementerian Agama.

“Sekarang jumlahnya sedikit sekarang bahkan sudah ada yang mengikuti program penyetaraan di Kementerian Agama, dimana santrinya nanti setelah keluar bisa mendapatkan ijazah formal setara dengan kejar paket di Kemendiknas. Kalo di pesantren namanya Pendidikan Kesetaraan Pondok Pesantren Salafiyah, ada jenjang ula wustho dan Ulya (SD, SMP, dan SMA),” terangnya.

BACA JUGA: Pondok Pesantren Tingkatkan Pengawasan Kesehatan Santri di Musim Panas dan Polusi

Dengan permintaan pemerintah untuk mencantumkan lambang negara pada ijazah, hal ini tentu berdampak baik, terutama bagi para santri di Pondok Pesantren.

“Kalau saya pribadi setuju agar pemerintah dapat mengontrol paham-paham islam transnasional yang mungkin ada di pondok pesantren tanpa terdeteksi oleh pemerintah,” tuturnya.

Meskipun begitu, menurutnya kebijakan ini memiliki nilai positif dan negatif. Aspek positifnya adalah santri dapat melanjutkan ke perguruan tinggi negeri atau swasta dan membangun jaringan yang lebih luas.

“Keuntungannya santri bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi negeri atau swasta, dan bisa berprofesi apapun baik negeri maupun swasta yang salah satu persyaratannya harus memiliki ijazah formal,” ucapnya.

Aspek negatif yang menjadi kekhawatiran adalah tujuan belajar santri yang mungkin bergeser dari mendalami ilmu agama menjadi fokus pada perolehan ijazah.

“Negatifnya adalah kekhawatiran kami, tapi selagi pondok pesantren bisa mempertahankan ke khasannanya maka ini sangat membantu dan bermanfaat bagi santri dan pondok pesantren itu sendiri,” pungkasnya. (dew)

 


Solverwp- WordPress Theme and Plugin