Berita Bekasi Nomor Satu
Bekasi  

Sensasi Warung di Atas Gunung TPST Bantargebang

Siang Banyak Pesen Es, Kalau Malam Kopi

SURYA BAGUS/RADAR BEKASI DI GUNUNG SAMPAH- Warung berada di atas gunungan sampah TPST Bantargebang.

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Menikmati segelas kopi di atas gunung sampah memberikan sensasi berbeda dari biasanya.Setiap sekian detik nampaknya harus mengibaskan tangan untuk menghalau lalat. Semua pedagang yang dijumpai wanita, ramah, salah diantaranya senang bergurau.

Laporan : Surya Bagus
BANTARGEBANG

Cuaca di atas gunung sampah setinggi 50 meter rasanya lebih sejuk, angin bertiup kencang, keringat yang menempel di badan usai mendaki kering dalam sekejap. Dari atas, tidak ada bangunan yang menjadi penghalang sejauh mata memandang, aromanya sudah tentu tidak sedap.

Beberapa tenda warung sudah nampak dari permukaan tanah di dasar gunung. Beratapkan terpal para pedagang menjajakan berbagai minuman segar dan kopi, dinikmati para pemulung yang setiap hari beraktifitas di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang.

Bangunan sederhana membuat para pedagang relatif mudah untuk memindahkan warung mereka, mengikuti area pembuangan yang aktif. Pasalnya, di area tersebut lah para pedagang akan bertemu dengan calon pembeli, selain area pembuangan yang aktif suasana nampak sepi.

Menjelang akhir pekan kemarin, Radar Bekasi ditemani salah seorang warga disana mendaki untuk melihat termakan di pembuangan sampah, tepatnya di zona empat, salah satu area pembuangan yang masih aktif. Truk sampah tidak hentinya hilir mudik menurunkan muatan sampah rumah tangga di area ini.

Usai memperhatikan sejenak kesibukan di kaki gunung sampah, Radar Bekasi memutuskan untuk bergerak naik. Sangat berhati-hati memilih pijakan kaki, lantaran mayoritas di area ini masih tergolong sampah baru, kondisinya basah dengan bau relatif lebih menyengat dibandingkan dengan area lain yang sampahnya nampak kering.

Kami berhenti di salah satu warung milik Lia (35) sekedar untuk memesan segelas es, untuk sekedar melepas dahaga usai berjalan menanjak di tengah Terik matahari sekitar 37 derajat celcius. Warung ini berdiri di dinding gunung sampah, setengah perjalanan lagi untuk sampai ke puncak.

Lia mengaku sudah tiga tahun berjualan di gunung sampah, dari satu titik berpindah ke titik yang lain mengikuti area pembuangan sampah yang aktif.”Saya sudah tiga tahunan, dulu jadi pelayan (membantu pedagang lain di TPST) terus saya jualan sendiri pas udah punya tempat,” katanya.

Empat tahun yang lalu, Lia bersama suami dan satu anaknya merantau dari Karawang, suaminya bekerja sebagai supir Losbak yang juga mengangkut sampah untuk dibuang ke TPST Bantargebang. Radar Bekasi duduk diatas Bekas perabotan rumah tangga yang dibuang oleh pemiliknya sambil menikmati es dengan varian rasa cincau.

Perabotan bekas juga dimanfaatkan untuk meja, dengan tambahan papan sebagai alas untuk meletakkan barang dagangan. Nampak berbagai macam varian minuman segar kemasan sachet beserta kopi menggantung di dalam warung.

Selain itu, nampak juga air mineral kemasan, roti, camilan kacang, hingga mie instan kemasan cup.
Tidak terlalu banyak lalat berterbangan di lokasi Lia berdagang, warungnya berdiri diatas sampah yang sudah kering. Jaraknya berkisar lima hingga sepuluh meter dari area pembuangan yang aktif dan didominasi sampah basah.

Bahkan, tidak ada lalat di dalam gelas minuman segar yang kami tinggalkan beberapa saat. Lia membawa dua galon air dan dua termos untuk persediaan air di warung. Sewaktu-waktu habis, ia bisa membeli air dan diantarkan ke atas, pedagang memang tidak diperbolehkan membawa kompor ke atas karena dikhawatirkan memicu kebakaran.

“Saya bawa termos dua, bawa air galon dua. Kalau habis ya beli di bawah, beli air satu galonnya Rp5 ribu, mengangkutnya Rp10 ribu (biaya antar air isi ulang ke atas), jadi kalau beli dua galon Rp30 ribu,” ungkapnya.

Selain ancaman kesehatan hingga menurunnya kualitas lingkungan di sekitarnya, keberadaan TPST Bantargebang nyatanya menjadi ladang penghidupan bagi sebagian orang. Tempat pembuangan sampah yang ketinggiannya pada awal tahun 2023 disampaikan setara dengan gedung 16 lantai ini pernah menjadi sorotan, aktor kondang Hollywood Leonardo Dicaprio sempat mengunggah ulang foto TPST Bantargebang di akun media sosialnya pada Maret 2019.

Baru-baru ini, ketinggian tumpukan sampah TPST Bantargebang disampaikan sudah mencapai 50 meter dari permukaan tanah. Pedagang, pemulung, hingga pengepul mengais rezeki di tempat pembuangan sampah yang telah berusia 34 tahun ini.

Setiap hari, sekira 7.700 ton sampah di buang ke TPST Bantargebang, lebih dari seribu truk sampah setiap hari hilir mudik. Lia berjualan sejak pagi sekira pukul 07.00 WIB hingga pukul 17:00 WIB.

Jika aktivitas pembuangan mendekat ke area tempatnya berjualan, ia bertahan hingga pukul 00:00 WIB.
“Pagi saya naik, sore pulang paling lama jam lima. Pernah sampai jam 12 malam, kalau siang sepi terus pembuangannya ke arah sini (warung) saya pulang jam 12 malam,” tuturnya.

Tiga tahun berjualan membuat ia memahami karakteristik pembeli. Siang hari, minuman segar paling sering dipesan oleh konsumen. Sementara pada saat malam hari, pesanan paling banyak adalah kopi dan roti lantaran cuaca terasa lebih dingin.

Ia juga memahami betul siapa konsumennya, sehingga catat mencatat atau kasbon tidak diambil pusing. Tidak jarang pembeli meminta pesanannya dicatat.”Ada yang nyatet, nanti dibayarnya kalau udah nimbang (rongsokan). Jadi misalkan pagi nih dia kurang uangnya, gapapa ambil dulu, nanti bayar mah pasti bayar,” ucapnya.

Harganya sangat terjangkau, hampir sama dengan harga yang dipatok warung di lingkungan rumah warga, dibandingkan harus turun gunung mencari warung, tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Lia menjual segelas kopi dengan harga Rp3 ribu, sementara untuk minuman segar Rp2 ribu.

Belum habis es dan kopi yang kami pesan, kami berpamitan untuk melanjutkan perjalanan ke atas seraya berjanji untuk kembali ke warungnya begitu turun dari gunungan sampah. Kami melanjutkan perjalanan, mengikuti jejak yang lebih dulu telah dilalui.

Sedikit memutar, tumpukan sampah yang kamu injak sudah kering, tidak berbahaya dan lebih bersih dibanding berjalan diatas sampah baru yang masih basah.Nampak hamparan sampah begitu luas, mendatar, seperti lapangan sepak bola. Di Atas gunungan sampah ini, daratan Kota Bekasi dapat terlihat sejauh mata memandang.

Ramai pemulung, nampak berdiri beberapa tenda seperti yang digunakan oleh Lia berjualan, hampir menyerupai gubuk.Sebagian digunakan untuk berteduh para pemulung, sebagian lagi berfungsi sebagai tempat berjualan. Warkop diatas gunungan sampah, begitu lah penampakannya.

Ada empat tenda berdiri berdekatan. Satu lagi nampak sedang dibangun. Seorang laki-laki tengah sibuk memasang kerangka bangunan dari bambu berukuran kecil, dihubungkan dari satu sudut bambu ke sudut bambu lain.

Aktivitas di area ini relatif lebih sibuk dibandingkan dengan sekitar area Lia berjualan tadi. Pedagang tempat kami berhenti untuk minum kopi nyaris tidak ada kesempatan untuk duduk bersantai seperti Lia. Pembeli terus berdatangan, mayoritas dari mereka membeli minuman segar berbekal plastik untuk dibawa, saat itu sekira pukul 15:30 WIB.

Hembusan angin terasa lebih kencang, nampaknya akan terasa menyegarkan jika tidak dihiasi aroma sampah. Keringat yang menempel di badan hasil pendakian dalam hitungan menit kering disapu hembusan angin.

Tangan akan bekerja lebih sibuk saat berada disini, menyapu lalat agar tak mendekat ke gelas plastik berisi kopi, itu yang kami lakukan, harganya sama Rp3 ribu. Sekira 15 menit berada di salah satu warung, seekor lalat berhasil lolos, nampak berusaha keluar dari dalam gelas.

Tidak lama berselang, kami kembali bergerak turun, berhenti sejenak di warung Lia untuk membayar minuman segar dan kopi yang sudah kami pesan sebelum naik ke atas gunungan sampah. Bagi Lia, berada di gunungan sampah lebih nyaman dibandingkan di rumah kontrakan tempat ia tinggal pada saat cuaca panas seperti saat ini.”Disini mah adem biar (cuaca) panas juga, banyak angin. Kalau di kontrakan panas,” ungkapnya seraya tertawa.

Pedagang seperti Lia ini tidak dipungut biaya lapak, begitu ia bercerita. Dalam sehari, ia bisa mengantongi uang Rp100 sampai Rp500 ribu, uang yang begitu berharga untuk membantu perekonomian keluarganya.

Musim kemarau seperti ini lebih nyaman untuk Lia berjualan, dibandingkan pada saat musim penghujan. Pasalnya, warung tempatnya berjualan tidak memiliki dinding, barang dagangan maupun setiap orang yang berada di sana akan basah terkena air hujan yang tersapu angin.

Belum lagi, ia khawatir jika sewaktu-waktu tumpukan sampah longsor saat hujan turun dengan intensitas tinggi.”Kalau hujan ya basah, kalau hujan gede pulang. Iseng saya, takut longsor,” ucapnya.

Pukul 17.00 kami sampai di dasar, aktivitasnya masih sangat ramai meskipun hari menjelang gelap. Truk sampah masih berlaku lalang, alat berat masih beroperasi, para pemulung juga masih beraktifitas.

Aktivitas di TPST memang tidak pernah berhenti, 24 jam. Dari kejauhan masih nampak beberapa tenda pedagang, termasuk milik Lia, ia tampaknya belum berencana untuk pulang sore itu.

Terdengar menjijikkan, kotor, dan membuat kepala bergidik bila mendengar volume sampah yang sudah tertumpuk selama puluhan tahun. Nyatanya, TPST Bantargebang bagi sebagian orang adalah ladang penghidupan, meskipun sadar atau tidak ada ancaman kesehatan hingga keselamatan selama berada beraktifitas disana.(*)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin