Berita Bekasi Nomor Satu

Melawan Stigma Nikah di KUA

Nikah Langsung di KUA Minim Peminat

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Memilih melangsungkan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA), menjadi pilihan masyarakat Bekasi saat ini. Bahkan, jumlah pasangan yang menikah di KUA meningkat dua tahun terakhir. Namun sayangnya, stigma negatif masih menghantui sebagian masyarakat.

Ya, jika dulu menikah di KUA ini dianggap hanya dilaksanakan oleh pasangan bermasalah seperti hamil di luar nikah, tidak mendapat restu, keterbatasan ekonomi, dan lain-lainnya, saat ini justru menjadi lifestyle.

Dua tahun belakangan ini, jumlah pasangan yang menikah di kantor KUA menunjukkan kenaikan, 3.107 pasangan pada tahun 2021, dan 3.397 pasangan di tahun 2022.Kasi Urusan Agama dan Pembinaan Syariah Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kota Bekasi, Indra Karmawan mengatakan, jumlah ini memang masih lebih sedikit dibandingkan jumlah pasangan yang menikah tiap tahunnya, persentasenya masih dibawah 30 persen.

Tahun 2021, total pasangan yang menikah di Kota Bekasi seluruhnya 14.756 pasangan, kemudian di tahun 2022 seluruhnya 13.676 pasangan. Selama ini, pemerintah kata Indra, menganjurkan supaya pernikahan dilakukan di kantor KUA.

Selain efisien dari sisi waktu pelaksanaan akad, dari sisi biaya juga disebut lebih efisien. Namun, kebiasaan di masyarakat tidak begitu saja menerima pernikahan di kantor KUA, pernikahan lebih banyak dilaksanakan di luar kantor bersamaan dengan resepsi.

Sekian Kebiasaan yang sudah berjalan di masyarakat, terbatasnya jumlah pengunjung akad nikah di kantor KUA maksimal 15 orang juga menjadi salah satu faktornya.”Itu lah yang membuat kita Bekasi ini dari 15 ribu pernikahan setahun, itu yang melaksanakan pernikahan di dalam KUA hanya sekitar 4 ribuan, yang 11 ribu di luar,” ungkapnya.

Salah satu faktor yang mendorong sebagian besar pernikahan dilaksanakan di luar kantor KUA adalah persetujuan orang tua. Mayoritas orang tua ingin akad nikah dilaksanakan di luar kantor, dan di hari libur atau akhir pekan, bersamaan di hari resepsi pernikahan.

Sementara itu terkait dengan penataan balai pernikahan yang dinilai relatif tidak mendukung pelaksanaan akad nikah, ia mengakui kondisi sarana dan prasarana kantor KUA masih kurang mendukung. Dekorasi gedung balai pernikahan KUA ini menjadi bagian dari perbincangan di jagad maya.

Untuk merevitalisasi gedung balai nilai di 12 kantor KUA di Kota Bekasi, sampai saat ini terhalang status kepemilikan tanah tempat kantor KUA berdiri. Manfaat dari program perbaikan atau revitalisasi kantor KUA tidak bisa dilaksanakan selama status tanah bukan milik pemerintah.

“Memang disini kita itu kekurangan Sarpras terkait kantor KUA, karena tanahnya itu pinjam semua,” tambahnya.

Sekedar diketahui, setiap pasangan Calon Pengantin (Catin) tidak dibebankan biaya akad jika dilaksanakan di kantor KUA. Sementara jika dilaksanakan di luar kantor KUA, dikenakan biaya Rp600 ribu sesuai ketentuan.

Sebelum mendaftar dan menentukan lokasi akad nikah di KUA, Catin perlu mempersiapkan semua berkas persyaratan, termasuk pengetahuan. Fokus pembinaan kepada calon pengantin ini dapat menjadi salah satu cara untuk menekan angka perceraian.

Salah satu generasi milenial, Asep Riandi (22) sepakat dengan tren menikah di kantor KUA ini. Ia menyebut salah satu penghalang generasi muda untuk menikah ini adalah faktor biaya yang relatif mahal.

Menikah di KUA saja dinilai bisa menjadi solusi. Meskipun, harus bertahan dengan stigma yang berkembang di tengah masyarakat.”Namun sayang, menjalankan pernikahan di KUA saja kerap dipandang negatif oleh sosial,” ungkapnya.

Beberapa orang tua di Kota Bekasi menyatakan persetujuannya dengan tren baru kalangan milenial ini, meskipun ada beberapa catatan yang harus diperhatikan menurut mereka.

Salah satu orang tua, Abdul Eksan Sumino belum lama ini mendengar pernyataan langsung dari anaknya, anak pertama yang saat ini statusnya sudah bekerja. Meskipun tidak di kantor KUA, namun anaknya meminta tanggapan jika resepsi pernikahan dilakukan sesederhana mungkin.

“Anak saya juga kebetulan kemarin nanya begitu. Pah, nanti kalau saya nikah itu saya pengen pada saat resepsi akad nikah itu cukup di masjid, lalu setelah itu kami ingin pergi berlibur, kami hanya mengajak keluarga inti dan sahabat-sahabat terdekat,” katanya, Senin (6/2).

Eksan mengerti betul bahwa yang terpenting dari prosesi pernikahan adalah terpenuhinya rukun nikah, saat semua terpenuhi dan terlaksana ijab kabul, pernikahan dinyatakan sah. Tapi, ada aspek budaya, tata krama, dan kebiasaan-kebiasaan yang sudah dilakukan turun temurun di masyarakat.

Seperti yang terjadi di kampung halamannya, warga asli pulau Jawa ini menyebut pada setiap prosesi pernikahan, setiap orang yang menyumbang atau menerima sumbangan mencatat secara detail. Nominal uang itu lah yang akan dikembalikan saat seseorang yang pernah menyumbang suatu hari mengadakan resepsi pernikahan.

Kebiasaan tersebut begitu kental, terlebih di daerah perkampungan. Situasinya sedikit berbeda dengan masyarakat di perkotaan, yang mobilitasnya tinggi, berpindah-pindah tempat tinggal.

Untuk itu, ia meminta kepada anaknya untuk lebih dulu bermusyawarah dengan keluarga calon pasangan.

“Terus bagaimana dengan budaya mengumpulkan keluarga, nah itu bisa di kemudian hari. Saya sampaikan, ini terjadi apabila pihak calon ini juga sepakat, kalau tidak sepakat, tetap mencari kesepakatan,” tambahnya.

Orang tua lainnya, Sri Rohimi, ketiga anaknya sudah berumah tangga, semuanya menikah di luar kantor KUA. Pada momentum yang terjadi satu kali dalam seumur hidup itu, ia menilai momentum sakral nan indah itu harus terlaksana penuh hikmat ditempat yang lebih layak.

“Sebagai orang tua, dan sebagian orang tua umumnya merasa keberatan jika anaknya hanya menikah di KUA karena ingin mengabadikan momentum sakral dan indah itu dengan penuh hikmat, dengan suasana yang indah, di tempat yang lebih layak,” ungkapnya.

Resepsi pernikahan kata dia, perlu dilaksanakan meskipun secara sederhana. Hal ini bertujuan memberitahukan kepada khalayak luas bahwa telah terjalin hubungan yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan, sesuai ketentuan agama maupun negara.

Pandangan ini disebut sesuai dengan pandangan Islam, bahwa ikatan pernikahan laki-laki dan perempuan harus diumumkan, atau disebut dengan Walimatul Urs. Terkait dengan tren milenial yang belakangan ini mencuat, ia menilai setiap orang memiliki pilihan konsep pernikahannya masing-masing untuk dilaksanakan.(Sur)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin