Berita Bekasi Nomor Satu

Kasus TBC Tembus 6.331 Orang

GUNAKAN MASKER : Sejumlah warga menggunakan masker di Stasiun Cikarang, Selasa (5/9). Kasus penyakit TBC di Kabupaten Bekasi, tembus 6.331 jiwa. ARIESANT/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bekasi, mencatat ada 10.066 warga yang menderita penyakit Tuberkulosis atau TBC. Jumlah kasus penyakit TBC ini masuk peringkat keempat di Jawa Barat.

Sedikitnya, per 4 September 2023, Dinkes Kabupaten Bekasi, telah menangani 6.331 orang yang, persentase dari total keseluruhannya, yakni 65 persen atau 10.066.

Sub Koordinator Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Dinkes Kabupaten Bekasi, Ahmad Nurfallah mengungkapkan, bahwa saat ini pemerintah daerah masih berupaya menekan laju pertumbuhan kasus TBC itu

“Berkaitan dengan insiden kasus kurang lebih ada 10 ribu penderita, kemudian yang sudah dilakukan intervensi, kurang lebih 65 persen atau sekitar enam ribuan,” ucap Ahmad, di Cikarang Pusat, Selasa (5/9).

Dia juga mengatakan, pemerintah daerah saat ini tengah fokus dalam menangani kasus penyakit TBC di tengah isu polusi udara yang kian mengkhawatirkan di wilayah penyangga Ibukota DKI Jakarta ini. Salah satu langkah yang dilakukan pihaknya bersama tim kesehatan, mendatangi tempat yang memiliki resiko tinggi penyebab TBC.

“Pertama, untuk pelaksanaan kegiatan penemuan kasus TBC, kami melakukan kunjungan ke fasilitas kesehatan dan mendatangi tempat-tempat umum yang dianggap beresiko, misalnya di pesantren dan sekolah,” beber Ahmad.

Ia juga menyampaikan, sebagai langkah awal untuk menekan kasus TBC di Kabupaten Bekasi, para petugas kesehatan dengan cara door to door, yakni mendatangi dan melakukan skrining kepada penderita TBC hingga memetakan lingkungan guna mengurangi resiko penularan penyakit ini.

“Petugas mendatangi dan melakukan skrining langsung kepada orang yang mengalami TBC, dari skrining terhadap pasien gejala tadi ketika memenuhi kriteria dari hasil pengambilan dahak, dilanjutkan pemeriksaan Flow cytometry (FCM) untuk dilakukan test pending, termasuk mendatangi lokasi penularan,” tutur Ahmad.

Pihaknya juga telah melakukan berbagai upaya, seperti melakukan koordinasi dengan berbagai pihak yang memiliki peran penting dalam penanganan kasus TBC ini, termasuk dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Sosial, Dinas Desa dan Pemberdayaan Masyarakat (DPMD), komunitas, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), seluruh Puskesmas, RSUD dan media.

“Kami berkoordinasi dengan berbagai komunitas stakeholder lintas sektor, dalam penanganan TBC ini. Karena memang butuh peran semuanya, termasuk media. Kami berterima kasih kepada Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI, yang fokus dan konsen dalam upaya penanganan penyakit TBC,” ujarnya.

Sementara itu, Manager Jawa Barat Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI, Bambang Eko Budi Yanto menjelaskan, kasus TBC di Jawa Barat, pertama tertinggi di Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, Kota Bandung. Sedangkan Kabupaten Bekasi, berada di peringkat keempat. Menurutnya, kasus TBC di Kabupaten Bekasi ini terjadi karena kesadaran masyarakat yang masih minim, seperti penggunaan masker dan sadar lingkungan.

“Karena bukan soal penanganan saja, tapi bagaimana sumber-sumbernya ini dari faktor ekonomi dan lingkungan, karena hunian yang tidak layak, mata pencaharian kurang, water sanitasinya tidak baik, tentu ini butuh peran sektor atau dinas lain,” imbuh Bambang

Di menjelaskan, seperti di Dinsos, terdapat program untuk bagaimana masyarakat miskin ini terbantu dari segi kebutuhan sehari-hari. Kemudian, di sektor dinas lain juga, contoh ada program perbaikan Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu) juga untuk mengatasi persoalan masyarakat terjangkit atau infeksi penyakit TBC ini.

“Saya berharap, semua sektor minimal teredukasi terkait pemahaman TBC ini. Harus bahu membahu bersama Dinkes, sebagai leading sektor menangani warga yang terdampak TBC,” sarannya.

Menurut Bambang, penyebab angka TBC ini cukup tinggi, karena kebanyakan masyarakat juga masih malu-malu. Kemudian takut jika didiagnosa menderita penyakit TBC. Sehingga, sulit untuk melakukan deteksi terhadap pemeriksaan kontak erat penderita.

“Padahal yang kami ketahui, para pasien TBC ini berasal dari masyarakat tingkat bawah, yakni di desa, RT/RW, sehingga dibutuhkan peran-peran dari mereka,” tandas Bambang. (ris)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin