Berita Bekasi Nomor Satu

Pentingnya Literasi Bencana

Aini Firdaus
Aini Firdaus
Aini Firdaus
Aini Firdaus

RADARBEKASI.ID, BEKASI -“Kita tidak bisa menghentikan bencana alam, tetapi kita dapat mempersenjatai diri dengan pengetahuan, begitu banyak nyawa yang tidak perlu hilang jika ada kesiapsiagaan sebelum bencana” (Petra Nemcova)
Pesan penyintas gempa bumi Samudra Hindia 2004 serta pendiri The Happy Hearth Fund (HHF) ini mengingatkan kita semua akan pentingnya literasi bencana. Literasi bencana menurut Lisa M Brown, dalam jurnal berjudul A Proposed Disaster Literacy Model, adalah kapasitas individu dalam membaca, memahami dan menggunakan informasi tersebut untuk membuat kebijakan informasi dengan mengikuti instruksi-instruksi dalam konteks mitigasi, kesiapsiagaan, respon, dan pemulihan dari bencana.

Membaca yang dimaksud tentunya tidak sekadar mengeja buku, namun juga mengenal karakter wilayah, potensi bencana berdasar letak geografis maupun geologis, mempelajari sejarah masa lalu juga mempelajari kemungkinan terjadinya malapetaka berdasar ilmu pengetahuan.

Bagi pemimpin di level pusat maupun daerah, literasi bencana ini mesti menjadi rujukan dalam membuat sejumlah kebijakan pra, saat dan paska bencana. Literasi bencana ini juga mesti menjadi pertimbangan para pengembang wilayah, perusahaan dan pengampu kepentingan lain agar rencana pembangunan di suatu daerah tidak menyebabkan bencana.

Sementara untuk masyarakat umum, literasi bencana berarti pengetahuan mengenai potensi bencana dalam skala lokal yang berujung pada pentingnya persiapan dan latihan menghadapi marabahaya.

Pemahaman Dasar Kebencanaan
Berdasar Undang-undang No 24 tahun 2007 mengenai Penanggulangan Bencana, bencana didefiniskan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Faktor penyebab bencana ada tiga, yaitu alam, non alam, dan manusia. Bencana alam dibedakan menjadi dua, musibah karena cuaca (hidrometeorologis) seperti banjir, longsor, puting beliung, kekeringan dan malapetaka disebabkan faktor geologis yaitu gempa bumi, tsunami, gunung Meletus.

Bencana karena non alam di antaranya karena gagal teknologi, epidemi dan wabah penyakit. Sedangkan bencana sosial terjadi akibat konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.

Ada bencana tertentu yang terjadi rutin atau berulang setiap beberapa tahun. Terdapat daerah-daerah yang rutin terendam air dan mengalami longsor saat musim hujan serta musibah kekeringan juga kebakaran hutan di musim kemarau. Terdapat pola tertentu sebelum terjadi gunung meletus, gempa bumi atau tsunami.

Informasi-informasi inilah yang menjadi dasar literasi bencana. Pemahaman akan potensi bencana di wilayah masing-masing dan bagaimana membangun sistem mitigasi bencana. Apa yang harus disiapkan ketika bencana belum terjadi, arah mana yang mesti dituju ketika bencana terjadi dan apa-apa yang menjadi prioritas ditangani setelah bencana. Anak-anak dan keluarga mesti dilatih, komunitas harus bersiap menangani secara mandiri dan peralatan minimal mesti dipunyai.

Belum Ada Literasi Bencana?
Melihat banyaknya korban jiwa dan kerusakan tiap kali terjadi malapetaka, awalnya saya berpikir di Indonesia belum banyak program literasi bencana. Namun ketika saya melakukan penelusuran, hasilnya membuat tercengang. Kenyataannya, tidak sedikit program, kegiatan, buku saku, panduan dan sejenisnya yang bertujuan membangun literasi atau mempersiapkan masyarakat agar tanggap bencana.

Sejak 2006 BNPB bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah mengenalkan konsep Sekolah Siaga Bencana (SSB). Pada 2010 pemerintah mengampanyekan Sekolah Aman Bencana yang kemudian berkembang menjadi konsep Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB).

Terdapat buku panduan SPAB yang bisa diunduh secara online dan digunakan tiap sekolah untuk memberikan pendidikan kebencanaan. Edisi terbaru yang diterbitkan 2019 juga memuat informasi mengenai pendidikan bencana di keluarga dan komunitas, juga program SPAB bagi Pramuka dan Palang Merah Remaja (PMR).

Di lingkungan masyarakat, Kementerian Sosial RI melalui Peraturan pemerintah (PP) No 128 tahun 2011 juga sudah mengeluarkan kebijakan mengenai Kampung Siaga Bencana (KSB). Mengacu pada konsep ini daerah yang memiliki kerawanan bencana tertentu diharapkan membangun gardu dan lumbung sosial yang berisi perlengkapan penanggulangan bencanan. Tim KSB yang dibentuk juga diharapkan melakukan kegiatan untuk mengantisipasi sekaligus mengurasi kerusakan yang lebih besar akibat bencana.

Pada 2017 BNPB mengeluarkan buku saku “Tanggap, Tangkas, Tangguh Menghadapi Bencana” yang bisa diunduh secara gratis di bnpb.go.id. Buku tersebut bisa menjadi panduan bagi siapa saja untuk melakukan hal-hal penting pra, saat dan paska bencana. Masyarakat juga bisa memanfaatkan informasi online melalui InaRISK, Info BMKG serta laman Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di masing-masing wilayah.

Dengan berbagai program tersebut, seharusnya masyarakat sudah melek literasi bencana. Namun, kenyataan masih jauh dari harapan. Saya melihat, mayoritas program tersebut baru menjadi proyek jangka pendek dan terbatas pada pembuatan modul, bimbingan teknis dan pemilihan sekolah/kampung percontohan. Setelah buku terbit dan pelatihan selesai dilakukan, seringkali program terhenti. Sekolah atau daerah lain yang tidak menjadi percontohan tidak mengetahui program tersebut.

Alangkah baiknya jika program dibuat lebih sistematis dan jangka panjang. Tidak perlu terlalu banyak panduan dan aturan tapi lebih praktis digunakan. Informasi perlu diperluas dengan melibatkan berbagai pihak. Kita, sebagai anggota masyarakat juga perlu membangun pola pikir aktif.

Tiap keluarga perlu memiliki tas siaga bencana yang berisi dokumen penting, uang, makanan dan minuman seperlunya. Para guru, tanpa harus menunggu perintah dari atas sebaiknya mulai secara mandiri mengumpulkan sumber dan referensi yang ada dan membuat program untuk anak didik masing-masing.

Jika perlu, para guru bisa mengundang tim Tagana (Taruna Siaga Bencana), atau relawan dari berbagai lembaga kemanusiaan lain untuk membagikan pengetahuan dan melatih siswa tanggap bencana. Saya yakin mereka akan menyambut undangan tersebut dengan senang hati.

Demikian juga komunitas-komunitas lokal termasuk grup pengajian, perkumpulan PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga), kelompok arisan dan lain-lain perlu turut aktif menyebarluaskan literasi kebencanaan. Undang perwakilan dari lembaga kemanusiaan untuk memberikan panduan dan latihan. Forum-forum literasi perlu terlibat aktif membangun kesadaran literasi bencana. Kita perlu mengenal potensi bencana di wilayah masing- masing, juga membangun sistem mitigasi.

Akan lebih baik jika di level Rukun Warga (RW) memiliki perlengkapan sesuai potensi bencana di wilayah tersebut. Misalnya untuk wilayah terdampak banjir bisa menyiapkan perahu karet dan pelampung. Perlu ditetapkan titik kumpul warga, juga jalur evakuasi.

Perlu diadakan dana darurat serta tim siaga bencana yang secara rutin meningkatkan kapasitas, misalnya mengenai manajemen dapur umum. Menyiapkan makanan untuk penyintas perlu pengetahuan gizi yang cukup.

Mumpung waktu-waktu ini sedang tidak banyak bencana, kita jangan terlena. Hanya dengan melek literasi, kehilangan nyawa dan kerusakan bisa kita minimalisasi! (*)

Aktivis Literasi dan Pengurus FTBM Kab Bekasi.


Solverwp- WordPress Theme and Plugin